BIANGLALA CINTA SANG KELANA BAGIAN 11

PELABUHAN HATI SANG KELANA 3

(Undang Sumargana)

Cuplikan cerita sebelumnya

Cahaya mentari yang makin terang seperti ditaburkan dari langit, menciptakan suasana siang di desaku dalam gairah kerja di hati penduduk desa, ada kerinduan pada bunga bunga sehingga bunga itu berputik dan berbuah yang akhirnya menumbuhkan bulir-bulir padi dari hasil keringat dari penghuni desa. Kadang aku merenung untuk memamahi apa sesungguhnya guna manusia hadir di bumi ini. Hanya yang ku dengar dan mulai kupahami bahwa manusia adalah khalipah Allah di muka bumi.

Bumi seperti tersenyum. Langit seperti tersenyum,pepohonan juga seperti tersenyum menikmati percakapan aku dengan istriku, juga percakapn dengan diriku sendiri.

Aku kelana yang telah letih mengembara, yang kini sudah mendapat pelabuhan hati.

(BERSAMBUNG )

Desiran angin sore ini, betul betul menambah kesejukan, sampai aku kadang senyum sendiri. Ombak laut Pangandaran terlihat agak tenang dari biasanya camar laut kepakan sayap, setelah menukik ke bawah dan menjepit ikan diparuhnya, di buritan perahu layar kadang mereka bertengger menikmati hasil jerih payahnya walaupun cuma seekor ikan kecil. Camar itu kadang memandang ke atas mungkin peasaan syukurlah yang terbersit dalam hati sang Camar itu.

“Sayang…! Panggilan istriku padaku, seolah olah seperti anak muda yang baru berpacaran. 

“Lihatlah Camar laut, dapat ikan kecil saja dia selalu bersyukur”

“Iya mah itu pelajaran bagi kita sebagai manusia, bahwa sekecil apapun yang kita dapatkan, sekecil apapun yang kita rasakan, bersyukurlah kepada Allah”.

“Iya sayang, kebanyakan kita suka lupa, dari apa yang kita dapatkan, kadang kita merasa sombong bahwa yang kita dapatkan hanya semata-mata karena kita sendiri, tak sadar di balik keberhasilan manusia ada sang penentu Allah Robbul Ijati”

“Iya mah, lupa itu berarti tidak ingat, sedangkan sombong itu prilaku Iblis. Sebaiknya kita ingatkan, dan kita saling mengingatkan, serta ayo kita perangi sipat sombong yang selalu bersemayan dalam hati masing-masing.

“Mah, Pah,? Tiba tiba Rado putraku dan Rifani putriku yang selalu memanggilku dengan sapaan Papah, sudah berada disampingku, setela mereka bosan bermain pasir.

“Mah, Pah, kita di Pasir Putih ini sampai matahari tenggelam ya, kita lihat sama sama indahnya pemandangan menjelang Mentari tenggelam“      

“Iya cakep, Cantik”, Istriku menjawab sambal mengelus kepala putra-putri kesayanganku itu”.  Keduanya duduk kira-kira tiga  meter disampingku, sedangkan aku dan istriku masih ditempat yang tadi di bawah rindangnya pohon Ketapang. Hari ini aku betul-betul merasa bahagia, jiwaku seakan hidup kembali, sekian lama sang Kelana letih mengembra merasakan tajamnya sayatan-sayatan pisau kehidupan dan terpaan gelombang  yang menghentak menyisakan lebam luka yang mendalam. Tak terasa ada genangan air mata dipelupuk mataku, mungkin air mata kebahagiaan yang bersamaan dengan pancaran rasa syukur dari lubuk hati. 

“Ya Allah kau telah kirimkan widadari dalam wujud istriku dan putra-putriku, terima kasih ya Rob…!” Tiba-tiba aku dikejutkan oleh istriku tangannya yang telah menggenggam tisu mengusap butiran air mata yang mengalir di pipiku .

“Ada apa sayang, apa ada salah yang telah ku lakukan sehingga menangis?” Kupeluk istriku ku tenggelamkan wajahnya dalam dadaku, dan kuusap usap kepalanya dengan rasa sayang yang begitu mendalam”.

“Mah sayang hari ini ayah betul betul bahagia, mendapatkan mamah, dan lihat kebahagiaan putra-putri kita. Perasaanku begitu tulus rasa bahagia rasa haru berbaur menjadi satu

“Sudahlah Yah, mamah juga bersyukur ayah orangnya baik, tanggung jawab dan selalu mneghargai mamah”. Semakin erat ku peluk istriku, tapi itu merupakan pelukan yang betul betul dilandasi rasa sayang yang tiada tara.

“Angin laut terasa mulai menebarkan rasa sejuk, Mentari  perlahan mulai tenggelam, pedaran aneka warna di langit Pangandaran,  seolah olah tebaran bianglala cinta yang terpancar memedarkan cahaya. Sang Kelana yang telah berlabuh di hati wanita pujaannya. Ada riak gelobang  mulai menyentuh tepi hati yang sudah lama kering, pusara buih putih gelombang yang telah membalikkan kehidupan dengan kuasa illahi. Hidup itu memang indah dan mesti indah. Anggapan semula yang ada dalam hatiku  “Wanita itu adalah macan” mulai terhapus dengan kasih sayang istriku. “Istriku adalah bidadariku” itulah yang ada dalam hati sekarang, dia begitu baik dan ketelitiannya  memperhatikan aku dari hal sekecil apapun. Tekadku aku harus berbuat lebih baik dari istriku dalam memperlakukan aku.

Ya Allah , nikmat apa lagi yang kau limpahkan padaku ?  Putriku yang telah begitu nyaman dalam bimbingan ibunya, putraku  berhasil masuk UPI Bandung melalui jalur SMPTN, setelah dia mondok selama 6 tahun di Pesantren Cipasung dan bersekolah di SMP Islam dan MAN Cipasung, ptraku yang bungsu mondok di pesantren Cipasung, yang kina baru kelas 8 di SMP Islam Cipasung. Terlihat begitu gembiranya mereka menikmati liburannya kali ini. Aku ingat pada putraku yang telah bekerja, jauh dariku tapi meskipun tak bersama lagi, aku dan istriku sangat sayang pada dia. Satu prinsip yang ku pegang, mungkin karena kepercayaanku pada pondok pesantran, maka putra-putriku setelah  tamat SD kutitipkan di pesantren sambil bersekolah di SMP dan tamat SLA, setelah tamat SLA kuberi kebebasan mau kuliah di tempat lain ataupun kuliah di Cipasung sambil terus mondok di pesantren  Cipasung itu lebih baik.

“Mamah, Papah tuh lihat sebentar lagi Mentari tenggelam, indah banget tuh warnanya”. Empat pasang mata langsung tertuju, pada pancaran sinar  matahari, seolah – olah tak mau tertinggal sedetikpun, subhanalloh keindahan yang sulit digambarkan oleh kata-kata, paduan warna yang tak mungkin bisa digambarkan oleh goresan kuas oleh  pelukisa manapun. Rupanya itulah lukisan yang terindah yang pernah kusaksikan. Ada kedamaian yang hanyut dalam paduan warna senja, ada binaran cahya ajaib yang merasuk dalam aliran darahku, seolah-olah denyut jantung memacu kekaguman dalam desahan suara pujian pada dzat Illahi.

“Subhanallah, … subhanallah, …subhanallah, ….!” begitu sempurna Kau ciptakan keindahan yang begitu memanjakan pandangan mataku, Yaa Roob.

Akhirnya mentari itu tak terlihat lagi, seperti hilang di telan gelombang, bersamaan dengan itu kedatangan perahu membuat aku dan Istriku serta kedua putra-putriku bergegas untuk naik menyebrang ke pantai sana pantai Pangandaran yang terasa mulai sepi. 

(bersambung)

Posting Komentar untuk "BIANGLALA CINTA SANG KELANA BAGIAN 11"