MENGENANG CHAIRIL ANWAR
SANG BINATANG JALANG PELOPOR PUJANGGA 45
(Undang Sumargana)
Siapa yang tidak kenal penyair terkenal Chairil Anwar. Puisinya yang begitu menggelegar, sehinngga ”Hans Bague Jassin (HB. Jassin)”, memberi gelar sebagai pelopror Angkatan 45 dan puisi modern.
Chairil Anwar adalah penyair terkemuka di Indonesia Ia merupakan putra dari pasangan Toeloes dan Saleha, yang keduanya berasal dari Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatra Barat. Ayahnya adalah seorang Bupati Indragiri, Riau. Chairil Anwar masih memiliki hubungan persaudaraan dengan Perdana Menteri pertama Indonesia, Sutan Syahrir. Syahrir adalah pamannya. Sewaktu muda, Chairil memulai pendidikannya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) atau Sekolah Dasar untuk kaum pribumi. Setelah lulus dari HIS, Ia melanjutkan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Ketika usianya menginjak 18 tahun, Chairil Anwar tidak lagi bersekolah. Sejak usia 15 tahun Chairil Anwar sudah bertekad untuk menjadi seniman. Di usia 19 tahun, pasca-perceraian kedua orangtuanya, Chairil pindah bersama Ibunya ke Batavia (Jakarta). Saat di Jakarta inilah Chairil mulai lebih mendalami dunia sastra. Karya sastra pertama yang Chairil Anwar tulis adalah puisi berjudul “Nisan” tahun 1942, puisi tersebut terinspirasi dari kematian neneknya. Pada tahun 1943 Chairil Anwar mulai mengirimkan puisi-puisi ciptaannya ke majalah Pandji Pustaka . Namun sayang puisi-puisin kirimannya banyak yang ditolak untuk dimuat, seperti Puisi berjudul “Aku” sempat ditolak oleh redaktur Balai Pustaka, karena dianggap terlalu individualistis dan berbau pemujaan pada diri sendiri, pada waktu itu redakturnya bernama Armijn Pane. Tetapi Chairil tidak sakit hati. HB Jassin menjelaskan penolakan tersebut bukan karena sajak itu buruk. Melainkan terkait situasi pada saat pendudukan Jepang yang peka terhadap kata-kata yang dapat dituduh mengandung unsur agitatif. Puisi Aku dianggap mengandung bara api Akibat dari penolakan tersebut puisinya banyak berserakkan dan tidak diterbitkan hingga tahun 1945.
Chairil Anwar banyak bergaul dan bertukar ide dengan para penulis lain.Ia mendirikan majalah Gema Gelanggang. Chairil Anwar mempunyain pandangan sendiri tentang seni terutama puisi, ia bertekad mengadakan revolusi dalam dunia sastra, ia mengkritisi Angkatan Pujangga Baru. Semangat, isi dan bentuk sajaknya bersipat Chairil Anwar bersipat revolusioner, tidak lagi terikat pada irama seperti pada pantun, syair maupun sajak bebas. Puisi-puisi Chairil Anwar lebih mengarah pada pemberontakkan jiwa. Pembaharuan yang dilakukan Chairil Anwar mnuntun pada manusia untuk bebas mengeluarkan pendapat, sikap yang tercermin dari puisi-puisi inilah yang menjadikan Chairil Anwar diberi gelar sebagai pelopor Angkatan 45.
Antara Chairil Anwar dan Bung Karno ada hubungan emosional antara dirinya dengan Bung Karno . Ia menceritakan bagaimana ia bisa begitu kagum pada Bung Karno lewat alur yang bicara Bung Karno, ia merasa telah menemukan kesepahaman antara dirinya dan Bung Karno hal ini digambarkan lewat puisinya yang berjudul “Persetujuan dengan Bung Karno” dan Puisi yang “Kerawang Bekasi”
Kehadiran Puisi-puisi Chairil Anwar tidak disenangi oleh jepang, karana puisi-puisi Chairil Anwar dianggap oleh Jepang akan menghalang-halangi penjajah Jepang untuk memanfaatkan semangat bangsa Indonesia dalam kebudayaan untuk kepentingan penjajah jepang dalam memenangkan perang
Sapardi Djoko Damono, seorang pujangga juga guru besar sastra, menyebutkan Chairil sebagai sosok yang menonjolkan sikap kepahlawanan, Pusi-puisinya ditulis sejak jaman pendudukan Jepang hingga masa Revolusi Indonesia, ia menulis menyangkut berbagai tema: pemberontakan, kematian, individualisme, dan eksistensialisme, hingga tak jarang multi-interpretasi.
Chairil Anwar meninggal dalam usia muda yaitu di umur 26 tahun tepatnya ia meninggal, 28 April tahun (1949) Jenazahnya dikebumikan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta.
Hari kematiannya diperingati sebagai Hari Puisi Nasional di Indonesia .
Di bawah ini penulis menyajikan 3 buah puisi karya besar Chairil Anwar
Aku
Kalau sampai waktuku
Aku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO
oleh Chairil Anwar
yo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengar bicaramu, dipanggang atas apimu, digarami oleh lautmu
Dari mula tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut
Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal² kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal² kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal² kita bertolak & berlabuh
1948
KERAWANG BEKASI
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Kerawang Bekasi
1948
Trimakasib
BalasHapussemoga bermanfaat buat bagi pengetahuan
BalasHapus