KISAH CINTA YANG MENGHARUKANDALAM “GITA CINTA DARI SMA”DARI NOVELIS TERKENAL (EDI D. ISKANDAR)
Tampaknya sudah begitu jauh waktunya jika megulas novel "Gita Cinta dari SMA" karya Novelis terkenal Eddy D. Iskandar sekarang. Namun, untuk para pembaca yang pernah menjadi remaja di th 1979, anggap saja untuk mengenang Kembali masa lalu, apa lagi yang pernah menonton filmnya yang diangkat dari novel tersebut bersama pacar atau teman,
Para pembaca yang tidak pernah menyaksikan dan mendengar hebohnya novel dan film ini ; mari berkenalan dengan pasangan fenomenal Galih dan Ratna, novel ini direkomendasikan untuk menjadi salah satu koleksi Anda. Mengapa demikian? Karena novel ini adalah karya abadi, karya yang tak aus dimakan oleh masa. Meski bertahun-tahun telah berlalu sejak awal kemunculannya, membaca novel ini sekarang tetap mampu membuat kita turut tersipu malu ketika mengikuti rangkaian ceritanya. Galih dan Ratna, pasangan yang akan membuat kita jatuh cinta lagi dan lagi dengan kepolosan dan kemurnian cinta yang ditunjukkan oleh keduanya.
Mari kita ikuti synopsis ceritanya
Pada bagian awal bab novel ini, disajikan narasi yang berisi tentang keresahan hati seorang wanita yang merasa terabaikan. Narasi tersebut disajikan lewat sudut pandang Ratna untuk megambarkan sosok Galih, tentang betapa dinginnya sosok laki-laki misterius itu. Potongan narasi tersebut dapat menjadi pengantar bagi pembaca untuk menyelami rangkaian peristiwa yang disajikan kemudian.
Mengherankan! Seorang pemuda tampan acuh kepadaku. Kepada Ratna Sumiar, gadis cantik yang tak pernah absen digandrungi lelaki! Apakah ia tak normal? Sampai tidak tertarik sama sekali akan kecatikanku seperti pria lainnya? Ratna tersentak ketika mendengar detak sepatu memasuki kelas. Ratna segera menoleh. Ternyata… si acuh itu! Pandangan keduanya beradu! Ratna hendak melemparkan senyum mautnya, tetapi lelaki itu cepat-cepat berpaling, berjalan menunduk menuju bangkunya. Menyimpan tas, lalu bergegas keluar lagi.
Novel ini bercerita tentang Ratna Sumiar Sastroatmojo, seorang gadis Jawa asal Yogyakarta yang berasal dari lingkung keluarga dengan adat tradisi yang kental. Memasuki jenjang kelas 2 SMA, Ratna bersama keluarganya memutuskan untuk pindah ke Bandung.
Di sekolah barunya, Ratna menempati kelas dua sos satu. Tidak butuh waktu lama baginya untuk dikenal, kecantikan yang membingkai wajahnya mampu membuatnya menjadi primadona di hari pertama kehadirannya di sekolah. Namun, ada satu hal membuat Ratna resah dan terus mengganggu pikirannya. Tidak seperti para murid pria lainnya yang terus berbisik memuji kecantikannya, seorang pemuda yang duduk di bangku paling belakang justru tampak tidak terusik sama sekali dengan kehadirannya.
Dia adalah Galih Rakasiwi. Seorang pemuda tampan berdarah Sunda dengan rambut agak gondrong, bertubuh tinggi semampai, dan selalu berpakaian rapi. Berkali-kali Ratna merasa heran pada pemuda itu, pemuda yang setia mengendarai sepeda ke sekolah di saat teman-temannya yang lain telah menggunakan sepeda motor. Pemuda itu seakan-akan tidak pernah tertarik padanya, menganggapnya seolah angin lalu, sungguh dingin. Bahkah, ketika mereka terlibat dalam suatu percakapan, Galih hanya berbicara seadanya, tetap dingin, dan beberapa pilihan katanya terasa tajam di telinga Ratna. Gaya bicara Galih padanya tidak seperti gaya bicaranya pada teman-temannya yang lain, penuh keakraban.
Keresahan tersebut membuat Ratna semakin penasaran dan terus berusaha untuk mendekati Galih, mulai dari bertanya jadwal pelajaran hingga meminjam buku catatan. Tanpa disadari, rasa penasaran yang tumbuh di hati Ratna perlahan-lahan mekar menjadi sebuah perasaan cinta. Namun, Galih adalah Galih, seorang pemuda yang selalu tampak acuh di mata Ratna.
Suatu hari, ketika banyak siswa laki-laki yang menawarkan diri untuk mengantar Ratna pulang dengan sepeda motor, Ratna menolaknya. Gadis itu justru menghampiri Galih dan memintanya untuk mengantarnya dengan sepeda. Namun, siapa sangka Galih menolak permintaan Ratna. “Kau akan malu,” begitu katanya. Kata-kata itu cukup membuat Ratna tertohok
Hati seseorang siapa tahu. Tampaknya kata-kata itu cocok disematkan pada Galih. Pemuda yang terlalu perasa itu sesungguhnya tidak bermaksud bersikap dingin dan angkuh, tidak pula bermaksud mengabaikan Ratna. Berkali-kali Galih berusaha mencuri pandang ke arah Ratna ketika gadis itu tidak menyadarinya. Berkali-kali pula Galih merasakan kesal dan sesak di dadanya ketika melihat Ratna diantar pulang oleh pemuda lain dengan mengendarai motor. “Ratna akan malu,” pikiran itu yang membuat Galih seolah menutup diri dan membatasi dirinya dengan Ratna.
Waktu terus bergulir. Akhirnya, dinginnya batu es di hati Galih mulai mencair. Pada beberapa kesempatan, Galih bersedia mengantarkan Ratna pulang setelah dialog berulang yang tercipta di antara keduanya setiap kali Ratna meminta Galih untuk menemaninya pulang. “Galih, kau mau mengantarku pulang?” tanya Ratna. Dan Galih akan menjawab, “Kalau Nana mau kuantar.” Meski dikatakan mengantar, Galih mengiringi Ratna pulang dengan berjalan kaki, ia tetap bersikeras menolak membonceng Ratna karena takut bahwa gadis itu akan merasa malu.
Galih dan Ratna akhirnya menjalin suatu hubungan. Namun, kedekatan mereka ternyata memicu percikan api cemburu di hati Christian. Akibatnya, sekelompok orang menyerang Galih lantas memukulinya. Namun, dengan jiwa ksatria yang dimilikinya, Galih menolak untuk memperpnjang masalah ini meskipun ia telah didesak teman-temannya.
Galih dan Ratna menjalani hari-hari bersama dengan penuh kebahagiaan. Namun, memasuki tahun ajaran baru, sesuatu yang tak terduga terjadi. Hubungan keduanya tercium oleh Ayah Ratna. Setelah mengetahui bahwa Galih berasal dari suku Sunda, sang ayah menentang keras hubungan keduanya. Ia bahkan melarang Ratna untuk pergi ke sekolah agar tidak dapat bertemu dengan Galih. Keputusan tersebut berujung pada kesepakatan bahwa Galih menerima untuk pindah kelas agar Ratna dapat kembali masuk ke sekolah.
Waktu pun berlalu, hari kelulusan telah tiba dan Ratna akan kembali ke Yogya. Keduanya diliputi perasaan cemas berlebih dan rasa takut kehilangan yang teramat. Semalam sebelum Ratna dijadwalkan kembali ke Yogya, mereka bertemu, saling mencurahkan tangisan dalan saling mendoakan. Pada pertemuan itu, Ratna memberikan titipan surat dari Mbak Ning untuk Galih. Sesungguhnya, apakah isi titipan surat tersebut? Akankah surat tersebut mencegah kepergian Ratna?
Pada bagian ketiga belas terdapat kata-kata yang bermakna cukup dalam. “Kalau senja amat indah nan cerah. Tiba-tiba datang angin kencang. Berguguran daun-daun di dahan. Berjatuhan hancur tak tertahan.” Kata-kata tersebut mewakili kisah tragis yang dialami oleh Galih dan Ratna, tentang sebuah cobaan yang memporak-porandakan kebahagiaan yang telah tertata sebelumnya. Sungguh mengharukan, bukan?
Bahasa yang digunakan Eddy D. Iskandar dalam novel yang terdiri atas empat bagian ini adalah bahasa yang ringan dan mudah dipahami. Alur yang sederhana dan mengalir membuat pembaca seakan menjadi pengamat langsung dan turut serta dalam berbagai rangkaian peristiwa yang dialami Galih dan Ratna. Selain itu, penggambaran karakter yang polos dan apa adanya mampu membuat pembanya tersipu malu ketika membacanya. Hanya saja, pada beberap bagian alurnya tekesan terlalu cepat. Namun tentunya hal tersebut tidak menutupi berbagai kelebihan dari novel ini. Tertarikkah Anda untuk membacanya? Sungguh, tidak akan rugi untuk memiliki novel Gita Cinta dari SMA karena tidak akan membuah Anda untuk bosan membacanya.
Cerita singkat film yang diangkat dari Novel ini sebagai berikut:
Film ini bercerita tentang kisah cinta dua pelajar SMA yaitu Galih (Rano Karno) dan Ratna (Yessi Gusman). Keduanya adalah bintang kelas, baik dalam pelajaran, olahraga maupun sopan santun. Bisa dibilang keduanya adalah pelajar teladan. Sayang cinta mereka tidak kesampaian karena ayah Ratna yang beretnis Jawa tidak menyetujui hubungan anaknya dengan Galih yang berasal dari Sunda. Ia telah menjodohkan Ratna dengan seorang mahasiswa yang sedang berkuliah di Universitas Gadjah Mada. Dengan segala macam paksaan, cinta mereka diputuskan. Akan tetapi berkat bantuan kakak Ratna dan teman-teman sekelasnya, mereka secara diam-diam selalu bertemu. Pada malam perpisahan, pihak sekolah mengumumkan bahwa Galih dan Ratna menjadi siswa-siswi terbaik. Cinta mereka harus berpisah karena Ratna melanjutkan kuliahnya di Yogyakarta.
Sosok Edi D. Iskandar Novelis Paporit Remaja di th 1979
Eddy D. Iskandar yang dikenal sebagai penulis novel pop lahir di Ciwidey, Bandung, 11 Mei 1951. . Ayah Eddy D. Iskandar bernama Iskandar Natapraja pemimpin Perkumpulan Seni Sunda Cekas Sari. Eddy D. Iskandar bersaudara enam orang dan hanya ialah satu-satunya yang berkecimpung di dunia sastra, Setamat SMA, ia menikah dengan Evi Kusmiati, gadis Sunda, teman sekolahnya.
Pendidikannya ditempuh di kota kelahirannya, mulai dari sekolah rakyat hingga SMA. Setamat SMA (1971), ia melanjutkan pendidikannya ke Akademi Industri Pariwisata (Aktripa) Bandung. Setelah lulus ujian Sarjana Muda di Aktripa, tahun 1975 ia melanjutkan studinya ke Akademi Sinematografi, Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (kini bernama Institut Kesenian Eddy D. Iskandar yang dikenal sebagai penulis novel pop lahir di Ciwidey, Bandung, 11 Mei 1951 Jakarta), Jurusan Penyutradaraan dan Penulisan Skenario, dan lulus tahun 1980.
Karier menulisnya dimulai dengan membuat "surat cinta". Ketika masih remaja, ia banyak menulis catatan di dalam buku-buku tulisannya. Pada tahun pertama di Akademi Ilmu Pariwisata (1971
Buku kumpulan cerpennya, antara lain, adalah
Kisah dan Hikmah 1 serta Kisah dan Hikmah 2 yang diterbitkan oleh CV Rosda, Bandung, 1987.
Cerpennya yang di muat setelah pindah ke Jakarta lain berjudul "Maut" (Zaman, 1984), "Jiwa yang Terguncang" (Suara Karya Minggu, 1986), "Perjalanan Malam" dan "Mimpi Godi" (Zaman, 1974 dan 1984), "Mencari Awal Menuju Akhir" (Horison, 1975), "Suara dalam Diam" (Panji Masyarakat, 1985), "Di Hadapan Sesuatu" (Zaman, 1985), "Lapaaaaaar" (t.t.), "Roy dan Tante" (Zaman, 1984), "Anak yang Didambakan" (Famili, 1984), "Buka Pintu Aku Datang" (Sanggar Film TIM, 1975), "Maling" (Zaman, 1985), "Pahlawan Malam" (Pemenang III Sayembara Mengarang Pos Kota Minggu), dan "Mang Engkat" (Suara Karya Minggu, 1975). Selain menulis cerpen, ia juga menulis puisi. Jumlah puisi yang sudah dipublikasikan sekitar 20 judul.
Puisi pertamanya dimuat dalam Horison sekitar tahun 1974.
Novel pertamanya yang berjudul "Berlalu dalam Sunyi" dimuat secara bersambung dalam Pos Kilat, Bandung,
Novel "Di Balik Bintang Gemerlapan" dimuat dalam majalah Gadis, Jakarta, yang kemudian diterbitkan oleh Gaya Pavorit Press (1978). Novelnya yang lebih kemudian banyak diterbitkan oleh Penerbit Cypress. Di antara novelnya yang paling terkenal dan banyak penggemarnya ialah Cowok Komersil (1977). Novelnya yang lain adalah Selembut Senyuman Duka (1978),
Gita Cinta di SMA(1979), Cintaku pada Ratu Levica1, Sok Nyentrik, Jelita Brandal, Tengil, dan Gengs. Novelnya kebanyakan bertemakan kehidupan remaja. Dia mengagumi karya Toha Mochtar karena bahasanya sangat lembut, sedangkan sastrawan asing yang dikaguminya adalah Leo Tolstoy. Dia juga mengaku bahwa ia hidup dari hasil menulis. Sebagai seorang wartawan, ia juga menulis berita. Selain itu, ia juga menulis kritik dan skenario film. Beberapa skenario film yang sudah difilmkan, antara lain, adalah "Gita Cinta di SMA" (1979), "Beningnya Hati Seorang Gadis", "Bunga Cinta Kasih", "Semau Gue" (1977), "Si Kabayan dan Anak Jin" (1991) dan "Puspa Indah Taman Hati", yang semuanya film remaja. Selain itu, "Gita Cinta di SMA" juga disinetronkan.
Sampai tahun 1984 ia telah menulis 50 novel. Sebanyak 13 judul di antaranya sudah difilmkan. Menurut pendapatnya, yang dikutip Ahmadun J. Herfanda, dalam Kedaulatan Rakyat, 13 Agustus 1984, film-film remaja mulai mendapat tempat, bukan saja laris di pasaran, melainkan juga masuk nomine Festival Film Indonesia (FFI), seperti "Gita Cinta di SMA", "Puspa Indah Taman Hati", "Cinta di Balik Noda", dan "Yang". Tentang misi yang diemban film-filmnya, ia menyatakan bahwa film-film remaja juga mempunyai misi kultural-edukatif; hanya takarannya barang kali berbeda dengan film dakwah. Film "Anak".
Sumber bacaan
•Film terlaris III di Jakarta, tahun 1979 dengan jumlah penonton 162.050 orang, (menurut data Perfin)[1]
•Sumber:https://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Eddy_D_Iskandar | Ensiklopedia Sastra Indonesia - Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Kerennn
BalasHapusterima kasih salam kenal
BalasHapus