RAYAP BERGEROMBOL MEMANGSA DARAH RAKYAT
Para pembaca yang Budiman…..!
KLIK RAJA SASTRA- Rayap, berkeliaran di mana-mana di seantero negeri disetiap
intansi rayap bergerombol di mandor-mandor
bangunan rayap memakan semen-semen untuk bahan bagunan , sehingga takarannya
dikurangi, disetiap intansi rayap bergerombol merongrong kewibawaan negeri, di
perpajakan rakyat datang menggerogoti setoran rakyat, di beberapa kementrian rayap datang
memanipulasi anggaran. Bahkan dianggota Dewanpun rayap menyerang mengisap darah
rakyat. Bahkan sampai dipedesaan di kelurahan di ke RT-an banyak rayap mencari
mangsa. rayap memang jahat kadang datang
bergerombol saling melindungi kejahatan yang dilakukannya.
Berbicara masalah Rayap, Taufik Ismail dalam puisinya yang
berjudul ” Negeriku Sedang Dilahap Rayap" menggambarkan keadaan negeri
kita berada dalam tatanan kehidupan yang
semerawut penuh dengan kejahatan yang dilakukan oleh manusia berdasi.
Negeri ini memang sedang diserang rayap sehingga keadaannya
tidak baik-baik saja. Anggota Dewan yang dipilih rakyat, banyak yang mengambil
kepurtusan menyakiti rakyat. Fakta banyak oknum pejabat yang tersandung kasus korupsi, gratifikasi
menggambarkan bahwa banyak dari mereka lebih memilih mementingkan diri sendiri
, mereka banyak yang jadi maling makan uang rakyat. Beban hutang negara membuat negri ini
sepertinya telah tergadaikan. Kolonialisme baru telah melanda negeri kita.
Para maling-maling negeri berjalan berjamaah, saling
menutupi, sehingga sulit untuk ditembus oleh hukum. Rakyat sengsara cari kerja
sulit pengangguran merajalela. Sulit rasanya rakyat merasakan kesejahtraan,
karena negeri ini sudah banyak dikuasai maling.
Pembaca yang Budiman, Penulis mengajak para pembaca untuk
mencoba mengapresiasi dua Puisi Karya Taufik Ismail dengan judul yang sama
dibuat dalam waktu yang berbeda, namun gambaran isinya hampir sama. Mari kita
bandingkan dan apresiasi dua puisi tersebut.
Selamat membaca dan mengapresiasi karya sastrawan ternama ini.
Negeriku Sedang Dilahap Rayap
(Karya Taufik Ismail)
Kita Hampir Paripurna
menjadi Bangsa Porak- Poranda,
Terbungkuk Dibebani Hutang
dan Merayap Melata Sengsara di dunia.
Pergelangan Tangan dan Kaki Indonesia “DIBORGOL” di Ruang
Tamu Kantor Pegadaian Jagat Raya.
Negeri kita “Tidak Merdeka Lagi”,
Kita sudah jadi Negeri Jajahan Kembali.
Selamat Datang dalam
“Zaman Kolonialisme Baru,”
Saudaraku.
Dulu penjajah kita “Satu Negara”,
Kini penjajah kita “Multi-Kolonialis”
banyak bangsa.
Mereka “Berdasi Sutra”,
Ramah-Tamah luar biasa
dan Banyak Senyumnya.
Makin banyak kita
“Meminjam Uang,
Makin Gembira”
karena “Leher Kita
Makin Mudah Dipatahkannya”.
Bergerak ke kiri “Ketabrak Copet”
Bergerak ke kanan “Kesenggol Jambret”,
Jalan di depan “Dikuasai Maling’,
Jalan di Belakang penuh “Tukang Peras”,
Yang di atas “Tukang Tindas.”
Lihatlah PARA MALING itu
kini mencuri secara Berjamaah.
Mereka berSaf-Saf Berdiri Rapat,
Teratur Berdisiplin dan Betapa Khusyu’.
Begitu rapatnya mereka berdiri
susah engkau menembusnya,
Begitu Sistematis.
Itukah rezim yang kalian banggakan dan di bela-bela.
Lalu dari sisi mana hebatnya rezim sekarang ini.
NEGRIKU SEDANG DILAHAP RAYAP
(Karya Taufik Ismail)
Anak-anak tak bisa bersekolah 11 juta murid, pecandu narkoba
6 juta anak muda, pengungsi perang saudara 1 juta orang, VCD koitus beredar 20
juta keping, kriminalitas merebat disetiap tikungan jalan
dan beban hutang di bahu 1600 trilyun rupiahnya.
Pergelangan tangan dan kaki Indonesia diborgol diruang tamu
Kantor Pegadaian Jagat Raya, dan dipunggung kita dicap sablon besar-besar:
Tahanan IMF dan Penunggak Bank Dunia.
Kita sudah jadi bangsa kuli dan babu,
menjual tenaga dengan upah paling murah sejagat raya.
Ketika TKW-TKI itu pergi
lihatlah mereka bersukacita antri penuh harapan dan
angan-angan di pelabuhan dan bandara,
ketika pulang lihat mereka berdukacita karena majikan
mungkir tidak membayar gaji, banyak yang disiksa malah diperkosa
dan pada jam pertama mendarat di negeri sendiri diperas
pula.
Negeri kita tidak merdeka lagi,
kita sudah jadi negeri jajahan kembali.
Selamat datang dalam zaman kolonialisme baru, saudaraku.
Dulu penjajah kita satu negara,
kini penjajah multi kolonialis banyak bangsa. Mereka berdasi
sutra,
ramah-tamah luar biasa dan banyak senyumnya.
Makin banyak kita meminjam uang, makin gembira karena leher
kita makin mudah dipatahkannya.
Di negeri kita ini, prospek industri bagus sekali. Berbagai
format perindustrian, sangat menjanjikan, begitu laporan penelitian.
Nomor satu paling wahid, sangat tinggi dalam evaluasi, dari
depannya penuh janji, adalah industri korupsi.
Apalagi di negeri kita lama sudah tidak jelas batas halal
dan haram, ibarat membentang benang hitam di hutan kelam jam satu malam.
Bergerak ke kiri ketabrak copet,
bergerak ke kanan kesenggol jambret, jalan di depan dikuasai
maling,
jalan di belakang penuh tukang peras, yang di atas tukang
tindas.
Untuk bisa bertahan berakal waras saja di Indonesia, sudah
untung. Lihatlah para maling itu kini mencuri secara berjamaah.
Mereka bersaf-saf berdiri rapat, teratur berdisiplin dan
betapa khusyu’. Begitu rapatnya mereka berdiri susah engkau menembusnya.
Begitu sistematiknya prosedurnya tak mungkin engkau
menyabotnya. Begitu khusyu’nya, engkau kira mereka beribadah.
Kemudian kita bertanya, mungkinkah ada maling yang
istiqamah?
Lihatlah jumlah mereka, berpuluh tahun lamanya, membentang
dari depan sampai ke belakang, melimpah dari atas sampai ke bawah,
tambah merambah panjang deretan saf jamaah.
Jamaah ini lintas agama, lintas suku dan lintas jenis
kelamin. Bagaimana melawan maling yang mencuri secara berjamaah?
Bagaimana menangkap maling
yang prosedur pencuriannya malah dilindungi dari atas sampai
ke bawah? Dan yang melindungi mereka, ternyata,
bagian juga dari yang pegang senjata dan yang memerintah.
Bagaimana ini?
Tangan kiri jamaah ini menandatangani disposisi MOU dan MUO
(Mark Up Operation),
tangan kanannya membuat yayasan beasiswa, asrama yatim piatu
dan sekolahan.
Kaki kiri jamaah ini mengais-ngais upeti ke sana kemari,
kaki kanannya bersedekah, pergi umrah dan naik haji.
Otak kirinya merancang prosentasi komisi dan pemotongan
anggaran, otak kanannya berzakat harta,
bertaubat nasuha
dan memohon ampunan Tuhan.
Bagaimana caranya melawan maling begini yang mencuri secara
berjamaah? Jamaahnya kukuh seperti diding keraton,
tak mempan dihantam gempa dan banjir bandang,
malahan mereka juru tafsir peraturan dan merancang
undang-undang,
penegak hukum sekaligus penggoyang hukum, berfungsi
bergantian.
Bagaimana caranya memroses hukum maling-maling yang
jumlahnya ratusan ribu, barangkali sekitar satu juta orang ini,
cukup jadi sebuah negara mini,
meliputi mereka yang pegang kendali perintah, eksekutif,
legislatif, yudikatif dan dunia bisnis, yang pegang pestol dan
mengendalikan meriam, yang berjas dan berdasi. Bagaimana
caranya?
Mau diperiksa dan diusut secara hukum?
Mau didudukkan di kursi tertuduh sidang pengadilan? Mau
didatangkan saksi-saksi yang bebas dari ancaman? Hakim dan jaksa yang bersih
dari penyuapan?
Percuma
Seratus tahun pengadilan, setiap hari 8 jam dijadwalkan
Insya Allah tak akan terselesaikan.
Jadi, saudaraku, bagaimana caranya?
Bagaimana caranya supaya mereka mau dibujuk, dibujuk,
dibujuk agar bersedia mengembalikan jarahan yang berpuluh tahun
dan turun-temurun sudah mereka kumpulkan.
Kita doakan Allah membuka hati mereka, terutama karena
terbanyak dari mereka orang yang shalat juga, orang yang berpuasa juga, orang
yang berhaji juga.
Kita bujuk baik-baik dan kita doakan mereka.
Celakanya,
jika di antara jamaah maling itu ada keluarga kita, ada
hubungan darah atau teman sekolah,
maka kita cenderung tutup mata, tak sampai hati menegurnya.
Celakanya,
bila di antara jamaah maling itu ada orang partai kita,
orang seagama atau sedaerah,
Kita cenderung menutup-nutupi fakta, lalu dimakruh-makruhkan
dan diam-diam berharap
semoga kita mendapatkan cipratan harta tanpa ketahuan.
Maling-maling ini adalah kawanan anai-anai dan rayap sejati.
Dan lihat kini jendela dan pintu Rumah Indonesia dimakan rayap.
Kayu kosen, tiang,kasau, jeriau rumah Indonesia dimakan
anai-anai. Dinding dan langit-langit, lantai rumah Indonesia digerogoti rayap.
Tempat tidur dan lemari, meja kursi dan sofa, televisi rumah
Indonesia dijarah anai-anai.
Pagar pekarangan, bahkan fondasi dan atap rumah Indonesia
sudah mulai habis dikunyah-kunyah rayap.
Rumah Indonesia menunggu waktu, masa rubuhnya yang sempurna.
Aku berdiri di pekarangan, terpana menyaksikannya.
Tiba-tiba datang serombongan anak muda dari kampung sekitar.
“Ini dia rayapnya! Ini dia Anai-anainya! ” teriak mereka.
“Bukan. Saya bukan Rayap, bukan!” bantahku.
Mereka berteriak terus dan mendekatiku dengan sikap
mengancam.
Aku melarikan diri kencang-kencang. Mereka mengejarkan lebih
kenjang lagi. Mereka menangkapku.
“Ambil bensin!” teriak seseorang. “Bakar Rayap,” teriak
mereka bersama.
Bensin berserakan dituangkan ke kepala dan badanku.
Seseorang memantik korek api. Aku dibakar.
Bau kawanan rayap hangus. Membubung Ke udara.
Jakarta, 2008
Downloade DI SIN
Posting Komentar untuk "RAYAP BERGEROMBOL MEMANGSA DARAH RAKYAT"