PEMILU DEMOKRASI DAN CAWE-CAWE DALAM SATU PANDANGAN

 PEMILU DEMOKRASI DAN  CAWE-CAWE 

DALAM SATU PANDANG


 PEMILU DEMOKRASI DAN CAWE-CAWE

Beberapa saat lagi kita mengadakan Pemilu yang biasa disebut pesta demokrasi, dari sejak pemilihan Presiden, DPR, DPD DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten. Gaungnya mulai terasa dari sekarang dari partai dan para anggote Dewan serta Calon Presiden. Rakyat berdemokrasi salah satunya menentukan pilihan ke hal yang saya sebutkan di atas. Mengutif dari pernyataan Expiration Date: The Fall of Empires, Superpowers and the United States— menyatakan bahwa kebenaran jarang menjadi tujuan utama politisi. Pemilihan umum dan kekuasaanlah tujuan utama mereka. Berkaitan dengan  perkataan tersebut beberapa cara dilakukan, dari cara yang baik sampai cara yang kotor dan  jahatpun kadang dilakukan demi kemenangan.

baca yang lainnya

Dalam sebuah kisah, Alexander Agung bertanya kepada seorang perompak, mengapa ia melakukan berbagai kejahatan selama ini. Si perompak menjawab, ”Yang saya lakukan sama saja dengan Anda yang merusak seluruh dunia; tetapi karena saya melakukan itu semua dengan armada kecil, maka saya disebut perompak dan karena Anda melakukannya dengan armada besar, maka Anda disebut penguasa.” Demikian dikisahkan oleh Santo Agustinus lebih dari 1.500 tahun yang lalu, untuk menyoal kekuasaan.

Catatan Agustinus itu masih berlanjut dengan pertanyaan sebaliknya: bukankah sarang penyamun sebenarnya adalah suatu kerajaan kecil? Gerombolan penyamun adalah organisasi, diperintah oleh pemimpinnya, dan diikat oleh perjanjian sehingga hasil perampokan dibagi menurut aturan main yang disepakati. Maka, yang seharusnya membedakan antara perompak dan penguasa adalah keadilan. Bukan hukum dalam arti peraturan dan aparat penegak hukum, tetapi keadilan dan etik.

Kita lanjut lagi berkaitan dengan Pemilu. Pemilihan Umum menuntut kecerdasan masyarakat untuk menimbang mana calon yang berkualitas baik, dan mana calon yang nantinya memanfaatkan kekuasaan karena pada hakekatnya Demokrasi menurut pandangan penulis “Milu ka nu Loba can puguh milu ka nu bener”.  Ikut kepada yang banyak belum tentu ikut kepada yang benar, sebab siapapun yang menang atau partai manapun yang menang, itulah yang akan mendominasi kekuasaan.  Untuk itu marilah orang orang yang benar, jujur dukunglah partai yang programnya baik, pimpinannya baik serta petinggi partainya baik. Karena kalau orang jahat berkumpul dalam suatu partai kebetulan anggotanya banyak mereka akan menang dan akan melakukan kejahatan.

                                           DI SINI

Menghadapi pemilu belakangan ini dipenuhi dengan gambaran nyata  dalam pemilu ada kekuasaan yang sedang diperebutkan; atau dipertahankan. Ada dua fenomena yang harus dibincangkan dalam masa-masa transisi kekuasaan. Pertama, kecenderungan pemilik kekuasaan untuk mempertahankan kekuasaannya, atau setidak-tidaknya memelihara agar kekuasaan tetap ada pada lingkaran keluarganya atau penerus yang ia percayai. Kedua, pemilik kekuasaan yang tak paham keadilan dan tak memiliki etika politik juga tidak akan membuka akses politik yang besar bagi nilai-nilai kebajikan yang penting, seperti hak asasi manusia dan antikorupsi 

Dari level paling atas, kita diributkan oleh soal ”cawe-cawe” yang dilontarkan oleh Presiden Joko Widodo. Kata ini memang multimakna. Ia bisa berarti pemerintah akan melaksanakan perintah konstitusional untuk memastikan pemilu diselenggarakan dengan berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber-jurdil) seperti dinyatakan dalam Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945.

Cawe-cawe juga bisa bermakna kebalikannya, yaitu untuk aktif terjun langsung mengatur jalannya pemilu bukan dengan tujuan keadilan. bisa jadi, tujuannya adalah memastikan adanya pemimpin baru yang bisa melanjutkan program pembangunan.

Seharusnya semua pemangku kepentingan berpikir bagaimana menyelenggarakan pemilu berkualitas dan menghasilkan wakil rakyat yang benar-benar mewakili kepentingan rakyat. Bukan sekadar mencari kekuasaan. Minimalkan permainan uang karena dengan kader yang berkualitas, partai sebenarnya tidak sulit mendapatkan suara dan dukungan rakyat.

Sebetulnya kalau mau benar-benar melaksanakan amanat konstitusi Amanat ini tinggal dijalankan saja dengan aksi konkret, tak perlu dinyatakan dalam sebuah pertemuan dengan media massa dan kongres partai, yaitu dengan cara memastikan pemilu yang luber-jurdil melalui berbagai forum koordinasi formal dan nonformal yang dimiliki semua penyelenggara negara. Salah satunya, dengan memastikan tidak ditetapkannya berbagai aturan main teknis penyelenggaraan pemilu yang ternyata merugikan keterwakilan perempuan, membuka kemudahan bagi koruptor untuk menjadi calon anggota legislatif lagi meskipun sebelumnya sudah dibatasi oleh Mahkamah Konstitusi, dan melonggarkan pelaporan dana kampanye.

Kita juga sudah melihat rekam jejak dan tanda-tanda kebobrokan berbagai lembaga yang terkait dengan pemilu, dari ke (tidak) bijakan yang dihasilkannya. Misalnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan peraturan KPU yang merugikan calon anggota legislatif perempuan dan melonggarkan pencalonan koruptor. Bahkan juga Mahkamah Konstitusi yang independensinya sedang diserang dan telah mengeluarkan putusan yang kontroversial mengenai perpanjangan masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Akhirakhir ini  warga semakin jomplang. Penguasa tengah berunding di antara mereka sendiri untuk menentukan penerus pembangunan, yang sebenarnya tak adil dan merusak lingkungan. Sementara sebagian warga sedang berupaya membuat kompetisi politik tahun depan adil, misalnya upaya Koalisi Peduli Keterwakilan Perempuan mengajukan permohonan pengujian peraturan KPU ke Mahkamah Agung. Warga terengah-engah, penguasa negosiasi bermewah-mewah.

Tentu saja, dalam sebuah demokrasi, tak haram bagi presiden petahana untuk mendukung calon dari partainya, seperti Obama mendukung Biden di Amerika Serikat. Yang jadi soal, bagaimana dukungan ini diberikan? Apakah dengan menyokong gagasan dalam masa kampanye? Atau dengan menggunakan kekuasaannya? Kita perlu membincangkan hal ini secara terbuka sejak sekarang. Bukan untuk memupuk ketidakpercayaan, tetapi karena otoritas memang mudah digunakan untuk kepentingan sang pemilik kekuasaan.

Kaderisasi makin sulit jika kekuasaan partai terpusat dalam genggaman segelintir elite partai. Bahkan ada beberapa partai yang dianggap milik pribadi atau keluarga.

klik Raja Sastra di sini

Sumber bacaan : 

Samesto Nitisastro : Paktisi SDM Pesona Khayangan Depok

Posting Komentar untuk " PEMILU DEMOKRASI DAN CAWE-CAWE DALAM SATU PANDANGAN"