PROBLEMATIKA KURIKULUM MERDEKA
![]() |
PROBLEMATIKA KURIKULUM MERDEKA |
Problematika kurikulum merdeka tidak dapat dihindari, kesekian kalinya kurikulum pendidikan berganti. Kurikulum 2013 secara berangsur akan segera pensiun. Sekalipun namanya Kurikulum 2013, namun faktanya, baru di tahun 2018 kurikulum itu diterapkan di seluruh sekolah. Artinya, ada sebagian sekolah yang baru kurang lebih tiga tahun menggunakannya secara penuh, kurikulum sudah berganti lagi. Rencananya, pada 2024 seluruh sekolah akan menerapkan Kurikulum Merdeka. Seberapa perlu kurikulum berganti? Tergantung kesiapan pendidiknya. Sebab guru adalah pihak yang berada di garis terdepan untuk melaksanakan amanat kurikulum tersebut. Guru adalah pemeran utamanya. Sebaik-baiknya struktur dan konsep sebuah kurikulum, jika pemeran utamanya tidak siap, maka tetap saja, akan menjadi sebuah kesia-siaan. Kualitas pendidikan akan sulit terdongkrak tanpa didukung oleh guru-guru yang berkualitas.
BACA YANG LAINNYA
- APA YANG TERJADI DALAM DUNIA PENDIDIKAN KITA
- SEKOLAH PENDIDIKAN GURU (SPG) DALAM KENANGAN
- KUALITAS PEMBANGUNAN SD INPRES DENGAN PEMBANGUNAN YANG MANGKRAK
- LULUS PPG DENGAN BERLATIH MENGIKUTI BIMBINGAN (BAGIAN 1)
Problematika Kurikulum Merdeka tidak jauh dari pelaksanaan Kurikulum 2013 sebelumnya, misalnya. Kurikulum tersebut menuntut guru untuk melaksanakan pembelajaran yang menarik dan menyenangkan. Guru dituntut harus kreatif untuk dapat menyajikan pembelajaran dengan berbagai macam metode. Namun apa yang terjadi? Masih banyak guru yang mengajar dengan metode klasik lintas kurikulum: metode ceramah. Sebuah metode yang masih jadi pilihan utama kebanyakan guru hingga kini. Dan, terbukti, selama hampir sembilan tahun pelaksanaan Kurikulum 2013, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, kualitas pendidikan Indonesia tidak mengalami kemajuan berarti. Lantas, apakah Kurikulum Merdeka akan mengalami nasib yang sama? Masih terlalu dini untuk menyimpulkannya. Biarlah kurikulum itu terus berproses dan diterapkan di sekolah-sekolah dengan kita senantiasa memberikan masukan kritis kepada pemerintah tentunya. Perbedaan Dua Kurikulum Ada banyak perbedaan dalam pelaksanaan Kurikulum Merdeka dan Kurikulum 2013. Dalam hal penyosialisasiannya, misalnya, pada saat Kurikulum 2013, guru-guru difasilitasi dengan pelatihan dan pendampingan berjenjang oleh pemerintah. Namun tidak pada Kurikulum Merdeka. Tidak ada pelatihan semacam itu. Namun guru dituntut untuk mempelajarinya secara mandiri lewat platform Merdeka Mengajar yang telah disediakan pemerintah. Pada tahap awal, tahap pengenalan kurikulum, persoalan besar sesungguhnya telah muncul. Berdasarkan data terbaru yang dirilis oleh Kemendikbudristek, ada 60% guru yang masih terbatas menguasai teknologi. Hal itu terbukti dari betapa tidak efektifnya pembelajaran jarak jauh dua tahun terakhir. Pembelajaran daring berjalan seadanya saja. Akibatnya, anak-anak mengalami learning loss yang cukup dalam. Jika mengacu pada data Kemendikbudristek tersebut, artinya hanya sekitar 40% saja guru yang dapat mempelajari Kurikulum Merdeka tanpa mengalami kendala. Selebihnya, butuh sentuhan dari pihak lain. Dinas-dinas pendidikan mungkin dapat mengambil peran di sini. Berbagai cara dan strategi harus dibuat untuk dapat memastikan seluruh guru di wilayahnya telah mempelajari kurikulum baru itu dengan baik. Namun hal itu tidak mudah. Sebab sangat mungkin ada daerah yang kurang peduli untuk menggerakkan dan memfasilitasi para tenaga pendidiknya untuk belajar. Komitmen yang kuat dari pemerintah daerah untuk memajukan pendidikan di daerahnya sangat dibutuhkan di sini. Selama ini kita melihat, ada banyak daerah yang tidak serius meningkatkan kualitas pendidikan daerahnya. Harus diakui, ini menjadi salah satu efek buruk otonomi daerah. Hal lain yang perlu disoroti dari penerapan Kurikulum Merdeka adalah adanya kewajiban bagi sekolah untuk melaksanakan proyek penguatan profil pelajar Pancasila. Untuk SD, sebanyak 20% dari jumlah beban jam belajar, wajib dialokasikan untuk tugas proyek. Untuk tingkat SMP meningkat lagi menjadi 25%, Dan, SMA 30%. Sementara di Kurikulum 2013 tidak ada kewajiban untuk melaksanakannya
Kurikulum Pendidikan RI sering berubah, yang awal belum tuntas dilaksanakan bahkan sosialisasinya belum sampai pada guru telah berubah lagi sesuai dengan kehendak dan gagasan mentri yang bersangkutan, jangan jangan sesuai apa yang dilontarkan Anis Baswedan dari bakal Capres koaloisi perubahan KPP “Pemerintah kerap otak-atik kurikulum, buku dan proyek-proyek”. (dikutif dari detikedu)
Kegiatan pelatihan kurikulum Merdeka memang selama ini terus digalakkan tapi baru sebatas guru guru yang lolos test untuk menjadi guru penggerak, dan bagi Kepala Sekolah untuk menjadi sekolah Penggerak. harapannya biar guru penggerak yang langsung terjun memberi pelatihan di sekolah-sekolah secara berkelompok hal ini juga merupakan salah satu upaya untuk mengatasi pemerataan kesempatan belajar. Selama ini, belum semua guru mendapatkan kesempatan pelatihan berjenjang. Pelatihan yang ada masih sebatas perwakilan yang ilmunya kadang hanya berhenti pada peserta pelatihan saja.
Kurikulum Pendidikan RI sering berubah itu suatu kenyataan. Kita akui seringnya kurikulum berubah, bukannya Pendidikan mengarah menjadi baik, bukti nya peringkat Pendidikan kita di dunia turun lebih rendah dari sebelumnya. Seharusnya pemerintah harus focus pada keberadaan guru serta kualitas guru tersebut, yang menjadi pokok kekurangan guru malah yang diutak atik kurikulum dan pasokan buku. Katakanlah buku-buku sekarang sudah cukup, tapi bagaimana dengan kecukupan gurunya apakah sudah merata ditiap sekolah? Katakanlah keberadaan guru ditiap sekolah memadai karena banyak dibantu oleh guru-guru sukwan yang nasibnya belum jelas, Lalu bagaimana dengan kesejahtraan mereka?
DI SINI
Problematika Kurikulum merdeka kalau tentu saja berkaitan dengan keadaan guru. Guru bisa konsentrasi ngajar, kalau pendapatan dia bisa cukup buat hidup dalam 1 bulan Utamanya bagi guru-guru sukwan yang hanya mengandalkan honor yang dicanangkan dari BOS Sekolah. Jangankan untuk 1 bulan bahkan kalua diukur dengan besar honor rata-rata mungkin hanya cukup untuk 1 minggu. Maaf dalam hal ini kami tidak bermaksud merendahklan guru honorer tapi itu kenyataan yang tak bisa dipungkiri. Kesejahtraan mereka perlu diperhatikan, memang mereka bekerja dengan ikhlas menanti harapan kapan mereka bisa diangkat sejajar dengan PNS lain. Tapi dari sisi lain kebutuhan Dasar mempertahankan hidup tidak bisa diabaikan. Tak sedikit mereka mengabdi sampai tua mana kala mereka untuk mengikuti Tes PNS kalah dengan lulusan-lulusan yang masih muda yang memamg otaknya masih cerdas. Atau mereka sudah tidak memenuhi sarat karena usia. Diakui memang pemerintah sekarang mengangkat ASN jalur PPPK termasuk didalamnya guru. Ini menjadiangin segar bagi guru honor yang telah mengabdi bertahun-tahun, tapi in ikan prekuanseinya belum sepadan denganhonorer yang ada di tiap sekolah, lagi pula pegawai honor yang sudah lama umurnya sudah diatas 40-an dalam mengikuti test kalah bersaing dengan guru-guru muda. Terutama guru-guru SD mereka banyak tersisihkan oleh honorer SMP yang rata-rata masih muda, padahal kalau melihat kemampuan mereka untuk mengajar di SD lebih mampu dari mereka yang biasa mengajar di SMP. Mungkin kelemahan mereka guru-guru SD dalam pengetahuan umum dan kelemahan mereka untuk mencari formasi yang harus diisi. Padahal kalau melihat kekosongan SD mereka masih membutuhkan.
Sebetulnya permasalahan utama sekarang bukan bertumpu pada kurikulumnya. Tapi benahi dulu kecukupan guru, ditiap sekolah, termasuk kesejahtraan guru tersebut, benahi sarana dan pra sarana sekolah jangan sampai kebutuhan minimal suatu sekolah tidak terpenuhi, ya langkah selanjutnya pembenahan kurikulum sampai peningkatan kemampuan guru dalam memahami kurikulum.
Klik RAJA SASTRA di sini
sunting-sunting dari berbagai sumber
Posting Komentar untuk "PROBLEMATIKA KURIKULUM MERDEKA"