CALON PEMIMPIN CIUNG WANARA
MENUJU PEMIMPIN CIUNG LODAYA
(BAGIAN 2)
RAJA SASTRA
2. Subjek Diskursif: Badak, Lodaya, Lutung, Ciung
Dalam Pantun Bogor lakon Pajajaran Beukah Kembang (PB1) maupun Pantun Bogor lakon Ngadegna Pajajaran (PB2) dikemukakan bahwa kepemimpinan diskrursif diperankan empat model, yaitu Badak, Lodaya, Lutung dan Ciung, Kita akan melihat model itu satu persatu. Saya ingatkan bahwa kepimimpinan sunda merupakan dialektika antara pengetahuan (knowledge) dan kekuasaan (power). Dalam haL ini pengetahuan mereupakan syarat menjadi pemimpin, dan jangan mendahulukan tercapainya kekuasaan tanpa persyaratan pengetahuan.
Berikut ini model diskrusif yang dikemukakan dalam lakon Pantun Bogor Beukah Kembang (PB1) dan Pantun Bogor Ngadegnaa Nagara Pajajaran (PB2)
Pertama Badak
“beubeunangan inyana henteu loba, inyana ngan saukur dating ka bisa nyieun tapak, da teu kaur anggeus batu teh Kburu remuk, beurat teuing anu nyieun arcana” (PB 1 h 26) (hasilnya tidak banyak, dia hanya mampu membuat tapak, karayanya tidak pernah selesai karena keburu remuk, terlalu berat yang membuat arcanya). Konsep (arca, perencanaan)model Badak lebih banyak berkonsentrasi pada tapak (bekas injakan kaki; sejarah) dengan peragaan model ini, tradisi tutur ingin menggambarkan suatu relasi diskursus yang tidak seimbang antara energi (power) yang begitu besar dengan pengetahuan (knowledge) yang terlalu kecil. Ketidak seimbangan antara Power dan Pengetahuan ini mematahkan proses kepemimpinan karana akan tergoda meraih kekuasaan pada saat dia seharusnya focus melakukan tapa (berpuasa, menahan diri dan menjaga agar pertumbuhan kepemimpinan hingga mencapai kedewasaan. Jika model ini berkuasa ia akan tercatat dalam sejarah namun tanpa karya kepemimpinan yang bisa disebut. Ini model kepemimpinan yang tentu saja belum ideal; sudah ada keinginan untuk menjadi subjek diskursif, namun tarikan kekuasaan untuk membuat tafak begitu besar, sehingga potensial mengerus keseluruhan.
Kedua Lodaya
Pantun ini menggambarkan “maung anu parabot inyana ngan kuku eujeung siyung, nyieun arca the henteu daekeun ngarupa, tibatan ngarupa mah, batu the kalah kohok jadi sodong eujeung guha” (PB 1.26) (harimau yang perabotnya hanya kuku dan taring, membuat arca tetep tidak berbentuk, malah batunya pecah jadi lubang dan gua) ini suatu pemikiran yang menjadi terobosan-terobosan. Orientasi tidak langsung ke atas (kekuasaan) seperti Badak, tete[pi ke depan. Disini pantun menggambarkan suatu keberanian besar yang ingin mendobrak penghalang di depan, suatu urusan yang bagi orang lain sulit dilalui, namun bagi model ini bisa ditembus. Persoalan terbesar jenis kepemimpinan ini adalah paska penghalang ia dobrak, ia kehabisan energi dan tidak bisa naik ke atas. Ada sisi keberhasilan yang dapat diraih di awal tapi sisi keterbatasan untuk menyempurnakan dengan prestasi kepemimpinan selanjutnya. Salahn satu sebabnya tidak memiliki visi utuh tentang kepemimpinan.
Tampaknya cara kerja Lodaya lebih mengandalkan keberanian untuk bertindak dan mengambil resiko, seolah-olah terinspirasi dengan adigium “kerjakan saja dulu perhitungan belakangan “ Jika diukur dengan prestasi kepemimpinannya tetaP minim “tibatan ngarupamah batu teh kalahka ka kohok jadi sodong eujeung guha ( dari pada berbentuk malah batunya yang pecah jadi lubang dan guha”, Meski begitu hasil karyanya masih diteruskan orang lain, artinya lebih baik disbanding dengan hasil yang remuk. Dengan Model Loday aini pantun menggambarkan diskursus yang belum seimbang antara power yang besar dan knowledge yang belum mencukupi atau ada masalah dalam visi perjuangan yang menyeluruh. Contoh praktisnya, model ini bisa menyelenggarakan demo besar-besaran , Gerakan reformasi bisa digulirkan hingga penguasa pun bisa ditumbangkan, namun setelah kehilangan momentum, orang lain yang menikmati hasilnya.
Ketiga Ciung
Pantun menyebutkan, Ieu nyieun arca Dewa eukeur sila, ngarupa-ngarupanamah tapi can anggeus, kaboro sariawan mantare” /PB 1 26 (Kemuadian membuat arca Dewa sedang bersila, sudah terlihat bentuknya tapi belum selesai, keburu terkena seriawan). Model ini menggambarkan memiliki visiutuh soal kepemimpinan, namun mengidap keterbatasan dari segi vower, sedangkan untuk mempengaruhi kebijakan tidak cukup mengandalkan kecerdasan dan ocehan yang berakibat cape sendiri.
Salah satu kemampuan Ciung adalah kemampuan terbang tinggi (ti ruhur sabari ngapung) PB. 1 h.17 Ini gambaran tentang intelektualitas yang tinggi, baginya jelas apa yang dihasilkan lodaya bernilai karya, namun dia juga melihat keterbatasan Lodaya. Sebagai sosok yang mahir lobi, ciung mengkomunikasikannya kepada lutung, yang karakternya memang suka mendengar, “unggut-unggutan ngadengekeun Ciung” PB2 h.19/ (manggut-manggut mendengarkan ciung) jika begitu masih terbuka potensi , jika konsep perencanaannya suatu Ketika akan terwujud , meskipun dia sendiri tidak bisa mengeksekusinya..
Ciung rupanya didedikasikan oleh pantun model kepemimpinan yan memiliki intelektualitas yang brilian, dan mempunyai visi yang utuh tentang apa yang ia buat. Kapasitas intelektualitas disertai dengan kepiawiaan berkomunikasi menjadikan sosok ciung mudah mempengaruhi sosok lain untuk bekerja sama atau menjalankan saran yang diberikannya. Namun hal itu tidak selamanya berhasil, kelemahannya pada power yang terkadang, atau lebih sering, membuat gagasan-gagasannya terbentur pemilik kekuasaan tidak mendukungnyaa, atau kadang mendukung tetapi hanya lip services belaka.
Dengan model Ciung ini, kiranya pantun ingin menggambarkan suatu relasi diskursus yang juga belum seimbang antara pengetahuan (knowledge) yang sangat mumpuni dan kemampuan (power) eksekusi yang terlalu kecil. Model kepemimpinan Ciung kontruksi terbalik dari model Badak.
Kempat Lutung
Pada Pantun menyebutkan dalam kalimat “da puguh leungeunan, di enggon inyana tapa loba arca mani ngajajar, aralus, baragus, harita inyana geus anggeus opat puluh” / PB 1. H 26/ Karena jelas memiliki tangan, di tempat bertapa dia menghasilkan arca, berjajar bagus-bagus, waktu itu sudah selesai empat puluh) , tabeatnya yang senang mendengar/ PB2.h19 dan mengikuti saran yang baik/PB 1.h17 disertai dengan kreativitas dan keterampilannya PB 1.h17, maka model Lutung digambarkan sebagai yang pandai mengadopsi pemikiran orang lain serta menghargai dan meneruskannya. Untuk membuat suatu karya besar, modelLutung tidak harus memulainya dari awal, bahkan tidak perlu menjadi penggagasnya, tapi dengan keterampilan Yang dimilikinya, secara kreatif ia membuat sejumlah Langkah atau karya, awal siapapun pendahulunya menjadi karya akhir yang sempurna.
Bacaan lainny
- CALON PEMIMPIN CIUNG WANARA MENUJU PEMIMPIN CIUNG LODAYA BAGIAN 1
- 80 KATA BIJAKISLAMI YANG MENUNTUN KITA DALAM KEHIDUPAN SEHARI HARI
- PENDAFTARAN CPNS DAN PPK RESMI DIUNDUR
- KISAH UNIK SUKU VADOMA YANG MEMPUNYAI KAKI SEPERTI KAKI BURUNG UNTA
Dengan model Lutung Pantun menggambarkan suatu relasi diskursus yang mendekati seimbang antara pengetahuan (knowledge) walaupun tidak tergolong mumpuni, tetapi kesenangannya mendengar dan belajar, serta diperkuat dengan keterampilan mengeksekusi pekerjaan secara handal, menjadikan model Lutung sebagai kontruksi kepemimpinan yang mendekati ideal.
KLIK DI SINI
Posting Komentar untuk "CALON PEMIMPIN CIUNG WANARA MENUJU PEMIMPIN CIUNG LODAYA BAGIAN 2"