CALON PEMIMPIN CIUNG WANARA MENUJU PEMIMPIN CIUNG LODAYA BAGIAN 3
RAJA SASTRA- Dalam cerita pantun
diperkenalkan sosok Galeuh Wening Brama
Wangi, “Geuning incu Ciung putu Lutung tedak Badak darah Lodaya; Nya Andika
Galeuh Wening Brama Wangi”/PB2.h31/ (ternyaata cucu Ciung, buyut Lutung turunan Badak, Darah Lodaya, ya
Kamulah Galeuh Wening Brama Wangi). Galeuh Wening Brama Wangi adalah Prabu
Anom, putra mahkota, yang suatu waktu akan menggantikan sang ayah “jadi Raja
menggantikan Rama Prabu’, (jadi Raja menggantikan ayahanda Prabu), PB1. h40,
dengan kata lain inilah pigur ideal yang diperkenalkan pantun. Dalam Pantun
Bogor lakon Pakujajar Beulah Kembang, Galeuh wening Brama Wangi, dimaknai “eusi
jaya tina pangarti nu teu pahili”, PB1.h45 (isi kajayaan dari pengetahuan yang
tidak tertukar). Sementara itu dalam Pantun Bogor ngadegna Negara Pajajaran, sebutan Galeuh Wening Brama
Wangi, diberi makna “eusi kakuatan sagala bersih”, /PB2.h13 (isi kekuatan dari
segala yang bersih.
Tampaknya sosok yang
terdapat dalam fiogur Pantun dianggap pemimpin ideal adalah dimana kejayaan
atau kekuatan dibangun melalui’
Pengetahuan yang tidak tertukar” atau “segala yang yang bersih”, di sini Pantun
memperkokoh argument kesaling keterkaitan antara kekuasaan dan pengetahuan atau
figure yang mempretasikan “Galeuh Wening brama wangi adalah adalah tokoh galuh
yaitu Ciung Wanara.
Temuan ini menggabungkan antara temuan Focault, tentang hubungan tyak terpisahkan antara kekuasaan dan pengetahuan “the constan articulation Ithink there is of fower on” of knowledge on fower” (Foucault, 1980 : 51, 69),
dan pengetahuan itu
sendiri berfungsi sebagai kekuasaan
(faucault, 1980: 51, 69 jadi ketidak semimbangan antara kekuasaan dan pengetahuan gambaran dari diskursus, maka
ungkapan galeuh wening brama wangi sepenuhnya mengungkapkan diskursus yang
sesungguhnya. Karenanya, jelas sekali dalam konsep kepemimpinann Sunda sangat
menjungjung tinggi pengetahuan baik dalam proses menjadipemimpin maupun dalam
meraih kekuasaan.
Dari pernyataan “eusi kakuatan
sagala bersih “ PB2.h13 (isi dari segala kekuatan segala yang bersih , jelas
melihat pentingnya segala kebenaran , sementara “eusi jaya dina pangarti nu teu
pahili”/PB1.45 (isi kejayaan dari pengetahuan yang tidak tertukar) terlihat
begitu obsesif dengan pengetahuan. Keduanya menggambarkan kenyataan bahwa
leluhur Sunda sangat mengedapankan aspek kebenaran. (will to truth) dan aspek
pengetahuan (will to knowledge seperti yang dikemukakan foucoult (1972-218)
Kebenaran dan pengetahuan sangat penting dan sudah seharusnya menandai
perjuangan politik local lokal kontamporer, “the important moment whwn the savant
begins to interpene in contenvorary political struggles in the name of a’local’
scientific iruth” (Foucoul) 1980: 150
Momentum Meraih Kekuasaan
Jika Ciung Lodaya sudah
muncul dan karyanya Pajajaran anyar sudahmewujud itulah saatnya bagi pemimpin meraih kekuasaan,
Aplikasi
mekanisme-mekanisme kekuasaan pada level individu konteksnya melalui cara
pemberdayaan masyarakat – pada tingkat keberhasila tertentu akan secara
otomatis membawa dampak pada lahirnya
pemimpin, karena nurani kolektif membentuk membentuk struktur
tatanan sosial, yang satu paket dengan dengan kehadiran pemimpin. Pemimpin yang
mempunyai pengetahuan yang tinggi, kebijaksanya tepat sasaran pada semua
lapisan masyarakat, tentu saja akan dicintai masyarakatnya dan akhirnya akan
memunculkan Pemimpin Ciung lodaya setelah berproses melalui pemimpin Ciung Wanara,
karena kecerdasan dan keterampilanya dalam membawa negara kearah yang lebih
baik. Ciung Lodaya gambaran pemimpin cerdas dan trampil yang akhirnya membentuk Ciung Lodaya karena
fowernya begitu kuat mengakar di masyarakat. Pemimpin yang terjadi sekarang
baru sebatas letupan-letupan perlokal entitas tertentu “Nu barodo jaradi gelo
ngaharepkeun anak Ciung” (yang bodoh jadi gila mengharapkan anak Ciung). Dalam
hal ini tak sedikit calon pemimpin yang muncul karena ketenaran leluhurnya,
atau ketenaran orang tuanya, kalau hal ini terbentuk dari tahapan yang benar
proses kepimimpinan dilalui dengan baik, ini akan menjadi pemimpin yang baik.
Tapi kalau mengandalkan vower karena kekuatan lelhurnya saja jangan harap
membawa negara dalam keadaan baik tapi tunggu masa kehancuran.
Kemunculan pemimpin Ciung
Lodaya memang sangat ditunggu tunggu, dari kalangan dan suku mana saja,
walaupun konsep ini ada dalam pantun pantun Sunda tapi dari kalangan manapun
yang muncul insya Allah membawa negara dalam kejayaan. Dan sampai saat sekarang pemimpin yang muncul
baru bisa berbagi kekuasaan dengan koloninya, maka muncullah istilah partai Koalisi dan partai Oposisi, partai Koalisi
mereka bekerja untuk negara tapi sangat memperhatikan kebijakan partainya,
sehingga muncul istilah bahwa para pemimpin dari presiden Gubernur, Bupati bahkan sampai Kepala Desa dimanfaatkan untuk memperkokoh partainya,
akhirnya terjadilah budaya jilat menjilat dari bawah untuk disayangi dan
diperhatikan atasan. Pemimpin di bawah jika terdengar sumbang dari partai
penguasa akan dipencilkan bahkan mungkin suara dan ajuannya kurang diperhatikan
munculnya istilah petugas partai mungkin mengharap partainya terus berkuasa
sehingga dapat mengendalikan kebijakan negara. Terjadinya para pemimpin “Kuya
bodas dan hurang catang” jelas ini karena jasa mereka dalam memperjuangkan pimpinan
di tingkat atas atau karena kepandaian mereka dalam menjilat, walaupun itu
budaya yang jelas salah, namun dalam prakteknya jelas sering terjadi.
Sekali lagi kita tentu
mengharap pemimpin dalam model “Ciung Lodaya” dari kalangan apapun dari suku
apapun dan dari partai manapun itu tak perlu dipermasalahkan pemimpin yang merupakan efek nyata yang memiliki
pengetahuan tentang kepemimpinan, kemudian menegakkan pengetahuan secara
konsisten menjalankan social practices berupa pakena gawe rahayu atau “nulung
kanu barutuh mantuan anu sarusah atau mere ciri ku wawangi, akhirnya akan melahirkan solidaritas sosial yang tiada lain adalah kekuasaan (power) yang
tidak melahirkan sang subjek jadi pemimpin yang berdaulat, Karena “kedaulatan merupakan
tujuan akhir solidaritas sosial’ (Khaidun, 2006; 166). Artinya Pajajaran anyar
sudah wujud maka sang pemimpin (ciung
Lodaya) sudah harus bersiap naik untuk naik kepanggung.
Bagi calon pemimpin harus
memahami strategi meraih kekuasaan:
8 Langkah Meraih Kekuasaan:
Berikut ini adalah 8 langkah meraih kekuasaan
1. 1. Sadar
Tarung
2. 2. Diminta
Tampil
3. 3. Posisi
Tawar
4. 4. Siap
Makalangan
5. 5. Tim
Pendukung
6. 6. Momentum
yang tepat
7. 7. Pendukung
Potensial
8. 8. Agenda
Paska Kemenangan
Bacaan Lainnya:
- PENGAWASAN TERKAIT NETRALITAS ASN DAN PEJABAT PEMERINTAH DALAM PENYELENGGARAAN PEMILU.
- CALON PEMIMPIN CIUNG WANARA MENUJU PEMIMPIN CIUNG LODAYA BAGIAN 2
- CALON PEMIMPIN CIUNG WANARA MENUJU PEMIMPIN CIUNG LODAYA BAGIAN 1
Mungkin banyaj berpikir negative
tentang kekuasaan, tapi para leluhur sunda dalam masalahkekuasaan memandang
positif, kekuasaan bukan untuk sebentar atau sepintas tapi untuk “pakeun
heubeul jaya di buana” Kekuasaan yang
hanya sebentar apa lagi berakhir di jeruji besi akibat berurusan dengan penegak hukum kiranya jauh
dari esensi konsep model pemimpn yang diharapkan orang sunda, Kekuasaan sebagaikedudukan
boleh berakhir (karena dibatasai oleh waktu) tapi kekuasaan sebagai kejayaan tetap
langgeng, Seperti kejayaan Siliwangi, Jadi esensi kekuasaan adalah langgengnya
kejayaan. Jasa dari kekuasaan tetap dikenang sebagai sosok pemimpin yang baik Namanya
tetap harum walaupun berates atau berpuluh tauh orangnya sudah tiada.
Sekian dulu bahasan kali
ini lain waktu mungkin saya akan munculkan tulisan lain yang dikaitkan dengan “Uga
orang Sunda”
KLIK DI SINI
Sumber :
Budak Angon : Diskursus Kepemimpinan
Sunda MenujuKekuasaan”
(Husin M.AL-Banjari)
Posting Komentar untuk "CALON PEMIMPIN CIUNG WANARA MENUJU PEMIMPIN CIUNG LODAYA BAGIAN 3"