PENDEKAR ROMANTIS 06 KITAB PANCA LONGOK 1

PENDEKAR ROMANTIS 06 
KITAB PANCA LONGOK

(BAGIAN 1)

(Scan/E-Book: Abu Keisel)
Juru Edit: Fujidenkikagawa
SATU PEMUDA ganteng model indo yang punya tato di dada gambar bunga mawar tidak ada duanya kecuali si Pendekar Romantis, Pandu Puber. Keturunan dewa yang kawin dengan anak jin ini memang mempunyai ketampanan yang bisa bikin para gadis maupun janda pada 'celeng'.
PENDEKAR ROMANTIS 06 KITAB PANCA LONGOK

RAJA SASTRA- Pembaca yang budiman  mulai kali ini Bloog Raja Sastra akan menyajikan CERITA SILAT ke depan tayang 1 minggu 2 kali. Hal ini sengaja  saya sajikan buat hiburan jangan hanya bergelut dengan artikel kajian atau informasi-informasi baik yang berkaitan dengan pendidikan maupun umum. Tentu saja cerita silat yang kami sajikan cerita silat pilihan yang mengegerkan dunia cerita persilatan indonesia

Selamat membaca

SATU PEMUDA ganteng model indo yang punya tato di dada gambar bunga mawar tidak ada duanya kecuali si Pendekar Romantis, Pandu Puber. Keturunan dewa yang kawin dengan anak jin ini memang mempunyai ketampanan yang bisa bikin para gadis maupun janda pada 'celeng'.

Semua orang bilang; Pandu itu tampan. Cuma orang hutan yang nggak bilang begitu. Sebagian orang mengakui bahwa Pandu itu hebat, ilmunya tinggi. Nggak aneh lagi kalau Pandu Puber sekarang sedang jadi sorotan massa. Ia adalah idola para wanita. Banyak yang tergila-gila padanya, banyak pula yang gila beneran. Malah ada yang mengusulkan agar Pandu Puber dijadikan 'cover boy' untuk sebuah kitab pusaka yang terbit se-bulan sekali. Tapi Pandu menolak usul pa-ra gadis itu, alasannya karena ia tak ingin wajahnya dijadikan poster dan dipa-jang di sembarang dinding, termasuk dinding kamar mandi segala.

"Dia memang tampan, dia memang menawan, dia memang menggairahkan, dia memang sangat dirindukan, cuma kalau mau cari dia susahnya bukan main," ujar seorang gadis kepada temannya yang waktu itu sedang mencuci di sungai. Kata gadis itu lagi, "Mencari pemuda yang bergelar Pendekar Romantis itu tidak semudah mencari jarum di depan mata lho. Kakak iparku sa-ja pernah putus asa dan hampir bunuh di-ri."

"Gara-gara gagal mencari Pendekar Romantis"!"

"Gara-gara hutangnya banyak!"

"Apa hubungannya dengan Pendekar Romantis" Ngaco aja omonganmu, ah!"

"Maksudnya, kakak iparku kan sudah janda, hutangnya banyak, dia cari Pendekar Romantis mau minta bantuan bayarin hutang, tapi sampai rambutnya beruban kakak iparku nggak pernah bisa nemuin pendekar itu."

"Sampai rambutnya beruban"! Wah, kebangetan itu sih."

"Iya. Suer deh! Sampai rambutnya putih semua. Rata!"

"Memangnya kakak iparmu usianya berapa tahun sih?"

"Yaah... baru enam puluh tahun kok!"

"Itu sih janda ketinggalan kereta!

Bukan pacar ketinggalan kereta!" gadis yang berkulit kuning ini bersungutsungut, dongkol mendengar omongan temannya. Temannya hanya cekikikan saja. Tapi temannya itu berkata lagi sambil menggi-las cucian di atas sebidang batu datar.

"Aku heran, cowok ganteng kayak dia kok nggak kawin-kawin, ya" Apa dia menunggu lamaranku tiba?"

"Lamaran dengkul mu, Sri!" cetus si kulit kuning rada keki. "Anaknya Ki Lurah Pekojan aja nggak naksir kamu, apa lagi seorang pendekar setampan Pandu Puber, mana mau dilamar sama kamu?"

Sambil tertawa ngikik, Sri berkata,

"Eh, biar badanku gemuk dan mukaku lebar begini, tapi 'servisnya' dong!" seraya pinggulnya digoyangkan dengan genit. Ganjen banget deh si gemuk itu. Tapi temannya tertawa geli, tidak menganggap si gemuk bernama Sri itu menyombongkan diri. Sri hentikan kerjanya dan berkata dengan bibir lari ke sana-sini, "Pokoknya, kalau pada akhirnya aku nanti kawin sama Mas Pandu, aku mau nanggap wayang tujuh hari tujuh malam."

"Uuh...! Jangan mimpi di pinggir kali, Sri. Nanti dicaplok buaya ganjen baru tahu rasa lu!"

"Lho, benar kok!" Sri serius.

"Soalnya aku naksir berat sama Mas Pandu.

Sudah orangnya ganteng, ilmunya tinggi, eeh... anunya besar lagi!"

"Anunya... apaan tuh?"

"Semangat juangnya besar!"

"Ooo...," si kulit kuning tertawa cekikikan dengan menghapus bayangan jo-roknya. Sri yang termasuk cerewet itu berkata lagi sambil memeras cucian,

"Kayak apa ya anakku nanti kalau bapaknya seganteng Mas Pandu" Pasti imut-imut kayak anak semut! Hi, hi, hi...."

"Ngomong-ngomong kok kamu naksir berat sama Pendekar Romantis, apa kamu sudah pernah bertemu dengannya, Sri?"

"Belum sih," jawab Sri pelan, agak minder.

"Uuh... belum pernah ketemu aja kok sudah mengkhayal yang bukan-bukan. Masih mendingan aku dong."

"Hah..."! Jadi, kau pernah ketemu Mas Pandu"!"

"Belum juga sih."

"Huuh... kirain sudah!"

"Tapi aku pernah melihat bayangannya di dalam mimpi!"

"Bayangannya Mas Pandu, maksudmu"!"

"Bayangannya nenekku sendiri sih...," balas si kulit kuning sambil cengengesan dan membuat Sri gendut bersungut-sungut mirip keong siput. Omong-omong mereka terhenti karena mata mereka sempat melihat seorang pemuda menuruni tanggul sungai di sebelah sana.

Masih dalam deretan tempat mereka nyuci, tapi agak jauh di depan. Sri sempat berbisik kepada si kulit kuning.

"Tun, tuh cowok mojok di batu-batuan sana mau ngapain, ya" Mau mandi apa mau buang air?"

"Nggak tahu tuh. Coba aja lu tengok sendiri."

"Gila lu! Entar dikiranya aku cewek mata lontong, gemar ngintip cowok mandi. Nggak mau ah."

"Lagian kenapa mesti kita ributin" 

Dia mau mandi kek, mau buang air kek, mau buang muka kek, mau buang duit kek... terserah dialah!" kata si kulit kuning yang rupanya bernama Jaitun itu.

"Eh, tapi dia kok malah dekatin ki-ta, Tun?" Sri gendut sedikit tegang karena heran. Pemuda yang berjalan mendekati tempat mereka mencuci pakaian itu mempunyai rambut panjang belakang, tapi bagian depannya pendek. Pemuda itu juga memakai anting-anting sebelah warna putih anti karat. Perawakannya tinggi, gagah, tegap, kekar tapi tidak berotot seperti binara-gawan. Ia memakai baju

ungu berlengan sedikit sekali, nyaris tanpa lengan. Bajunya itu warna terang, mempunyai bintik-bintik putih bening seperti tetesan embun. Celananya juga ungu berbintik-bintik warna embun, tapi tepiannya bertiras, mirip celana jeans tanggung yang berumbai-rumbai. Pemuda berusia sekitar dua puluh dua tahun itu mengenakan gelang kulit warna hitam berbintik-bintik paku metal. Gelang kulit di kedua tangannya itu yang membuat penampilannya semakin tampak gagah. Perkasa tapi bukan perkosa. Pemuda itulah sebenarnya yang lagi dibicarakan sama kedua gadis tersebut. Dia adalah Pendekar Romantis, Pandu Puber. Tapi Jaitun dan Sri nggak tahu kalau cowok itu Pandu Puber. Mereka nggak tahu kalau Pandu Puber itu punya tato bunga] mawar merah di dadanya. Senyum kedua gadis desa itu saling bermekaran antara malu dan kikuk karena si pemuda tampan sudah ada di dekat mereka. Sebentar-sebentar mata kedua gadis itu

melirik, sebentar-sebentar berlagak cuek. Mereka tak berani menyapa lebih du-lu. Malah Sri menampakkan kesibukannya dengan serius. Pakaian yang tadi sudah dicuci, sekarang dicuci lagi, sampai akhirnya ada yang robek karena terlalu lama digilas. "Maaf, boleh saya mengganggu Mbakyu-mbakyu berdua ini?" sapa Pandu Puber membuka percakapan. Sri berkata pada Jaitun, "Mau mengganggu kok pakai bilang-bilang, ya Tun?" 

"Yah, namanya lelaki, Sri...," Jaitun berlagak mengeluh. "Lelaki di mana saja

sama, kerjanya mengganggu wanita."

Pandu Puber sunggingkan senyum ge-li. Senyuman itu pas dilirik oleh Jaitun dan Sri. Hati mereka berdebar karena mengakui bahwa senyuman itu sangat menawan hati. Tapi mereka masih berpura-pura cuek.

Pandu Puber berkata, "Maksudku bukan mengganggu tidak sopan, cuma ingin numpang nanya." Sri berkata lagi kepada Jaitun,

"Memang katamu itu benar, Tun. Lelaki di mana-mana sama saja, senangnya numpang wanita." 

"Husy...!" hardik Jaitun, melirik Pandu dengan malu. Lalu sambil memeras cucian ia berkata dengan senyum sipu-sipu, 

"Maaf, temanku ini memang kalau ngomong suka slebor, Kang. Maklumi saja, habis lahirnya barengan gunung meletus sih." 

Sri bersungut-sungut menggerutu tak jelas. Pandu semakin menahan rasa geli-geli dongkol. Lalu ia duduk di atas batu setinggi pinggulnya, di sana ia bertanya dengan ucapan diperlamban, 

"Aku cuma mau numpang tanya rumahnya Ken Warok. Apa

kalian tahu?"

"Ken Warok"!" Jaitun kerutkan dahi, Sri juga begitu, tapi mata Sri memandang Jaitun. Lalu terdengar suara Jaitun meng-gumamkan nama itu sekali lagi. Sri segera berkata sambil pandangi Pendekar Romantis,

BACAAN LAINNYA: 

"Kalau Ken Warok nggak ada, Kang.

Tapi kalau Ken Arok ada! Mungkin sampean salah ucap. Bukan Ken Warok, tapi Ken Arok." Jaitun menyahut, 

"Sri, kalau Ken Arok kan sudah pindah ke Tumapel, kan rumahnya kena gusur." Sri berkata lagi kepada Pandu,

"Iya, Kang. Kalau yang kau cari adalah Ken Arok, orangnya sudah pindah ke Tumapel. Cuma bengkel dokarnya masih ada di seberang kedai. Kadang-kadang dia suka ke bengkelnya." Jaitun menyahut juga, 

"Kalau sampean mau, nanti saya antarkan ke bengkelnya deh.

Kebetulan rumah saya bersebelahan dengan bengkelnya Ken Arok."

"Aku juga bisa nganterin kok, nggak cuma kamu, Tun!" Sri nggak mau kalah.

Dengan kalem, lembut dan bersahabat, Pendekar Romantis kembali perdengarkan suaranya. "Yang kucari Ken Warok, bukan Ken Arok."

"Ooo..., habis di sini ada lima orang yang pakai nama Ken sih, Kang," ka-ta Sri.

"Ken Arok, Ken Borok, Ken Ngorok, Ken Gorok, dan Ken Tobijo."

"Itu nama istrinya lurah kami, Kang," sambung Jaitun. 

"Tapi kalau yang namanya

Ken Warok nggak ada. Sebaiknya cari Ken Arok saja, Kang. Lebih gampang!"

"Ya lain urusan dong, Yu!" kata Pandu dengan tawa tanpa suara.

"Memangnya ada apa sih kok cari orang yang nggak ada di data kami?" tanya Sri cerewet. 

"Ada pesanan yang harus kusampaikan dari kakeknya Ken Warok."

"Pesanan apa" Nasi rantangan atau pesanan baju?" tanya Sri lagi.

"Maksudnya, ada amanat yang harus kusampaikan padanya. Amanat itu diti-tipkan padaku sebelum kakeknya Ken Warok meninggal akibat pedang lawannya."

"Ooo... wah, kasihan ya kakeknya Ken Warok itu, Jadi sekarang sudah meninggal, ya Kang?" 

"Sudah. Dan sudah kumakamkan sendiri, karena waktu itu yang ada di situ cu-ma aku." 

"Ooo... Iha kamu nggak ikut dima-kamkan juga, Kang?" canda Sri mulai berani. Canda itu menghadirkan tawa bagi dua gadis desa yang memperlambat kerja nyucinya. Pandu Puber tidak tersinggung, malah menampakkan senyum keramahannya. Setelah itu ia bergegas pergi dan meninggalkan kata,

"Ya, sudah. Kalau gitu aku harus cari ke desa lain."

"Kok buru-buru sih, Kang, Nggak minum-minum dulu?" Sri memperlihatkan kegenitannya. 

"Minum apa ? Minum air sungai?" ujar Jaitun sambil mengulum senyum, bukan mengulum cucian.

"Aku harus segera mencari Ken Warok. Kalau nggak gitu, nanti rohnya Ki Mangut Pedas bisa menuntutku dikira aku nggak mau sampaikan amanatnya untuk sang cucu." 

"E, eh... siapa nama kakeknya Ken Warok tadi?" sergah Jaitun dengan tegang.

"Ki Mangut Pedas."

"Lhaaa... itu nama kakekku, Kang! Iya, betul! Itu nama kakekku!" Jaitun ja-di tegang sekali. Cuciannya ditinggalkan dan ia naik ke darat. 

"Betulkah namanya Ki Mangut Pedas" Orangnya jangkung, kurus, suka pakai jubah abu-abu, punya gelang akar bahar berukir ular

di tangan kanannya?"

"Benar! Benar sekali!" Pandu berse-mangat.

"Kalau begitu kau telah bertemu dengan kakekku, Kang! Ya, ampuuun... kakek sudah mati...." Jaitun duduk di batu dengan lemas, 

(BERSAMBUNG BAGIAN 2)

Posting Komentar untuk "PENDEKAR ROMANTIS 06 KITAB PANCA LONGOK 1"