PENDEKAR ROMANTIS 06 KITAB PANCA LONGOK BAGIAN 2

 

PENDEKAR ROMANTIS 06 
KITAB PANCA LONGOK

(BAGIAN 2)

(Scan/E-Book: Abu Keisel)
Juru Edit: Fujidenkikagawa
wajahnya sedih, hampir menangis. Pandu Puber buru-buru buang muka karena ia tak berani melihat gadis menan-gis. Ia selalu ingat ibunya dan bisa jatuh pingsan atau lemas tanpa daya.
PENDEKAR ROMANTIS 06  KITAB PANCA LONGOK BAGIAN 2

Pembaca yang budiman cerita silat  bagian ke dua dari judul di atas, kami sajikan mungkin kedepan untuk cerita silat akan kami sajikan setiap yangjadwalnya  hari Rabu dan sabtu, namun kali ini kami belum bisa menentukan jadwal. Kepan kami sajikan cerita-cerita silat yang berlatar belakang dan berlatar tempat di wilayah Tasik selatan, atau sekitat Kabupaten Tasikmalaya. Konon klabarnya dulu di mana dunia persilatan masih menguasai dunia, bermunculan pendekar-pendekar silat dari Kab Tasikmalaya sekarang, terutama dari pesieir Tasik selatan, Insya Allah sumbernya sedang kami sunting.
tapi yang penting silakan baca cerita ini sampai selesai
Selamat membaca!
Kami terbuka terima saran dan kritik pembaca

RAJA SASTRA- Wajahnya sedih, hampir menangis. Pandu Puber buru-buru buang muka karena ia tak berani melihat gadis menan-gis. Ia selalu ingat ibunya dan bisa jatuh pingsan atau lemas tanpa daya.

Sri dekatin Jaitun, "Kalau benar itu nama kakekmu, kenapa kamu nggak tahu yang namanya Ken Warok?"

"Ki Mangut Pedas adalah kakak dari kakekku. Jadi dia kan termasuk kakekku Juga"

Sedangkan... o, ya. Aku baru ingat. Yang namanya Ken Warok itu sebenarnya adalah kakak sepupuku. Nama aslinya Kendayun. Di antara keluarga kami dia di-panggil Dayun. Tapi aku ingat, dia memproklamirkan diri di depan umum dengan nama Ken Warok. Soalnya dia gemar nonton

pertunjukan reok kepala singa."

"Lalu, rumah Ken Warok itu di ma-na?" tanya Pandu.

"Di belakang rumahku, Kang! Kalau begitu, yuk kuantar ke rumahnya!"

Sri agak iri karena Jaitun pulang bareng pemuda tampan. Sri hanya bilang pada Jaitun dengan suara agak keras, 

"Biarin kamu pulang sama dia! Aku mau di si-ni dulu nyelesain cucian sambil menunggu siapa tahu Mas Pandu Puber lewat sini!"

Tentu saja si tampan bermata kebi-ru-biruan itu hentikan langkah dan berpaling ke belakang memandang Sri yang masih merendam di air. Maksudnya, Pandu kaget mendengar namanya disebut oleh Sri dan ia ingin mengatakan bahwa dialah yang bernama Pandu Puber. Tetapi Jaitun segera menarik lengan Pandu dengan sopan sambil berkata,

"Sudahlah, jangan hiraukan ocehan Sri gendut itu. Dia memang lagi tergila-gila sama Pandu Puber. Padahal menurutku sih, Pandu Puber pemuda yang nggak layak untuk digila-gilain. Apalagi dibangga-banggakan, huuh... nggak pantes. Sekadar diakui kehebatan ilmunya dan keramahannya sih boleh saja, tapi kalau sampai dibangga-banggakan rasanya kok nggak pada tempatnya."

"Memangnya kenapa?" tanya Pandu semakin berlagak bego.

"Soalnya...," Jaitun tersenyum ma-lu. "Soalnya... Pandu Puber nggak sehebat kamu, Kang."

"Maksudnya nggak sehebat bagaimana?" desak Pandu kian memancing perasaan si gadis manis berkulit kuning itu.

"Yaah... pokoknya nggak hebatlah. Bisa dilihat dari wajahnya, perawakannya, kegagahannya, semuanya nggak kayak kamu. Pasti masih lebih hebat kamu, Kang."

"Masa' sih...?" Pandu senyum-senyum saja sambil tetap melangkah bersebelahan.

"Iya. Nggak lebih tampan dari kamu.

Pandu Puber itu kan, yaaah... namanya ju-ga anak masih puber, tentu saja masih imut-imut. Tua sedikit juga peot."

Pandu tertawa geli tapi tidak dilepas semuanya. Jaitun bagaikan lupa dengan kematian kakeknya. Ia tersenyum-senyum seraya sesekali menunduk. Menjinjing bakul menenteng ember karet. Dalam tunduk-nya itu ia melirik Pandu sebentar dan bertanya, 

"Ngomong-ngomong... namamu siapa sih, Kang?"

"Namaku...?" Pandu tersenyum lebar, tampak ragu-ragu. Tiba-tiba dari arah depan mereka muncul seorang anak lelaki remaja berusia sekitar lima belas tahun. Anak itu memakai rompi dan celana abu-abu, ikat kepalanya merah, badannya agak kurus, wajahnya polos. Anak itu terkejut dan hentikan langkah melihat Pandu berjalan bersama Jaitun.

"Sumo..."! Sumo Banjir..."!" Pandu menyapa lebih dulu. Wajahnya berseri-seri. Tapi wajah Sumo Banjir lebih ceria lagi.

"Kaaang..."! Kang Pandu..."! Ooh...aku kangen kamu, Kang! Aku kangen kamu, Kang Pandu...!" Sumo Banjir memeluk Pandu Puber

dengan kegirangan. Tubuh anak itu diguncang-guncang oleh Pandu seperti pohon ceremai yang ingin dirontokkan buahnya. Pandu Puber

sempat terbayang masa pertemuannya dengan Sumo Banjir dalam peristiwa patung pembawa bencana itu, (Kalau mau tahu patungnya kayak apa, cari aja di serial Pendekar Romantis dalam kisah : "Patung Iblis Banci"- bukan dari Taman Lawang kok. Bener!). "Bagaimana kabarmu, Sumo?"

"Aku sekarang kerja di tempat Ki Lasoka, ikut bikin keramik, Kang."

"Syukurlah kalau kau punya kesibukan. Nggak kepingin jadi pendekar lagi?"

"Ya kepingin, Kang. Tapi... gimana lagi, habis Kang Pandu nggak mau jadi guruku sih." Kemudian Sumo Banjir memandang Jaitun karena punggungnya dicolek-colek gadis itu. 

Jaitun bertanya, "Kok kamu kenal dia, Mo" Memangnya dia itu siapa?"

"Dia kan Pandu Puber, si Pendekar Romantis itu!"

"Hahh..."!" mata Jaitun membelalak lebar, hampir saja copot dan menyambar wajah Sumo Banjir. Bibirnya gemetar, wajahnya pucat, napasnya sesak, kepala nyutnyutan, pandangan mata makin suram, akhirnya... brruukk! Jaitun pingsan. Hebat ya"


💢💢

Namanya memang seram. Ken Warok. Yang namanya warok itu biasanya bertubuh besar, tinggi, tampang angker, kumis sebesar lontong sate, badan kekar berotot, galaknya kayak setan lagi beranak.

Tapi warok yang ini ternyata benar-benar men-gejutkan Pandu Puber. Ken Warok bertubuh kecil, pendek, kurus, rambutnya potongan cepak, mirip hansip sedang masa pendidikan. Usianya sekitar dua puluh enam tahun. Mengenakan pakaian serba hitam, komprang. Bajunya tak dikancingkan sehingga tampak tulang iganya

yang bertonjolan mirip tangga berjalan. Hampir-hampir Pandu Puber tidak mempercayai kalau orang yang mirip sebatang korek api itu bernama Ken Warok.

"Aku ingin bertemu dengan Ken Warok, bukan kamu Kang."

"Lha ya, aku ini Ken Warok!"

"Masa' sih..."!" Pandu sampai bilang begitu, karena penampilan dan potongan orang itu tidak pantas menyandang na-ma Ken Warok. Setelah orang itu menjelaskan seperti apa yang dijelaskan Jaitun, barulah Pandu Puber percaya bahwa orang itu adalah cucunya Ki Mangut Pedas.

Berita tentang kematian Ki Mangut Pedas bukan saja membuat Ken Warok sedih, namun menjadi berang dan sorot matanya yang kecil itu penuh cahaya dendam membara. "Siapa yang membunuhnya?"

"Aku tidak tahu. Ketika aku tiba di lembah itu, kakekmu sudah terkapar tak berdaya. Aku ingin sembuhkan lukanya, ta-pi dia menolak. Karena dia bilang memang hari itu sudah jatahnya untuk mati. Aku tak berani memaksa. Cuma dia sebutkan sa-tu nama orang yang habis bertarung dengannya."

"Lha iya, yang kutanyakan tadi adalah nama orang yang habis bertarung dengannya itu!" ujar Ken Warok dengan jengkel. 

"Siapa namanya?"

"Tengkorak Tobat."

"Setan!" geram Ken Warok.

"Mungkin saja setan, namanya saja Tengkorak Tobat. Barangkali setan yang menyamar sebagai seorang pendeta."

"Bukan itu maksudku!" kata Ken Warok semakin tampak gusar. "Aku tahu Tengkorak Tobat. Aku kenal dia, karena namanya memang sudah dikenal! Aku harus temui dia sekarang juga!"

Ken Warok bergegas pergi, tapi Pendekar Romantis segera berkata, "Apakah kau berani menghadapi dia?"

Ken Warok berhenti, berbalik badan pelan-pelan. Wajahnya tampak sayu, lalu berkata dengan nada lemah, "Kalau sendirian ya nggak berani."

"Kok kamu mau ngamuk menemuinya?"

"Kan sama kamu?"

"Aku nggak ada urusannya dengan Tengkorak Tobat. Mau apa aku mencak-mencak sama dia?" 

"Yaaah... kirain kamu mau ikut menemui dia?" ujarnya makin lemah. Pandu Puber tertawa pelan. 

"Kau ini aneh. Kalau merasa nggak berani ya jangan galak begitu dong! Salah salah nyawamu dicabutnya sambil ber-siul!"

"Tengkorak Tobat adalah orang kepercayaan Ratu Cadar Jenazah."

"Kayaknya memang begitu, sebab amanat yang harus kusampaikan padamu ada hubungannya dengan nama Ratu Cadar Jenazah."

Ken Warok dekati Pandu Puber dan berkata pelan, 

"Apa amanat dari kakekku itu?"

"Kau harus bersembunyi dari jang-kauan Ratu Cadar Jenazah."

"Kenapa begitu?"

"Entahlah. Kakekmu tak mau jelaskan. Ia terburu-buru mau mati. Setelah ngomong begitu, dia menghembuskan napas terakhir. Buuuss...! Begitu!"

Ken Warok diam termenung, melangkah sedikit jauhi Pandu Puber. Sementara itu,

Pandu Puber sedang jadi pusat perhatian perempuan-perempuan yang ada di rumahnya. Ken Warok, termasuk Jaitun sendiri yang masih shock sehingga hanya terbengong me-lompong memandangi pendekar tampan yang tak disangka-sangka justru berjalan ber-duaan dengannya. Sedangkan Pandu Puber berlagak cuek walau hatinya agak tak enak karena jadi bahan intipan para wanita, baik yang sudah bersuami maupun yang belum. Mereka bicara di depan rumah Ken Warok yang penuh dengan pohon bambu, sebab dulunya kakeknya Ken Warok pengusaha anyaman bambu. Ken Warok sendiri sekarang mewarisi profesi sang kakek menjadi penganyam bambu, tukang bikin pagar.

Pandu Puber mendekati Ken Warok karena terlalu lama ditinggalkan sendirian di tengah pelataran. Mirip tiang bendera. Saat itu Ken Warok memang baru akan temui Pandu untuk mengatakan sesuatu, tapi Pandu lebih dulu perdengarkan suaranya yang kalem itu.

"Apakah kau punya urusan pribadi dengan Ratu Cadar Jenazah?"

"Tidak. Tapi..., rasa-rasanya ada sesuatu yang harus kulakukan. Ki Mangut Pedas, kakekku, dulu adalah seorang jagoan, pengawal istana kerajaan Balekam-bang. Kakek pernah berguru di puncak Gunung Sahari. Dan menurut cerita beliau, Ratu Cadar Jenazah adalah rekan seperguruannya, tapi kakek lebih senior."

"Kalau begitu," kata Pandu menyim-pulkan, "Pasti ada hubungannya dengan perguruan kakekmu dulu."

"Kayaknya sih begitu," kata Ken Warok. "Pasti soal Kitab Panca Longok."

Pandu Puber cepat memandang Ken Warok dengan dahi berkerut. Yang dipandang juga sedang menatapnya dalam renungan.

Tanpa diminta, Ken Warok segera jelaskan persoalan itu.

"Kitab Panca Longok hanya diberikan kepada kakekku, karena kabarnya dulu kakek adalah murid teladan yang selalu tampil sebagai ranking pertama setiap kenai-kan kelas." 

"Apa yang ada di dalam Kitab Panca Longok itu?"

"Jurus maut yang bernama 'Lima Setan Bingung'. Tapi sampai sekarang kakek tak mau pelajari Jurus 'Lima Setan Bingung', sebab jurus itu katanya sih jurus sesat. Bisa berubah wujudnya menjadi li-ma. Kabarnya, setiap orang yang berhasil pelajari jurus 'Lima Setan Bingung' tak dapat mengendalikan nafsu maksiatnya.

Ha-wanya kepingin membunuh, memperkosa, me-rampok, memfitnah dan mengadu domba. Makanya kakek tidak mau mempelajari jurus tersebut. Tetapi Kitab Panca Longok tetap disimpannya, dan tak pernah diajarkan atau diberikan kepada siapa pun.Sebab kakek takut kedamaian di bumi terancam karena seseorang yang berhasil pelajari Kitab Panca Longok."

Pandu Puber manggut-manggut. Dalam pengertian batinnya, Ki Mangut Pedas adalah orang baik. Tokoh berilmu lumayan ta-pi beraliran putih. Tidak menyukai keributan. Padahal kalau ia mau, ia bisa menjadi orang sakti dan menjadi super jagoan dengan bermodalkan jurus dari Kitab Panca Longok itu. 

Niat Ki Mangut Pedas perlu didukung, menurut Pandu Puber. Jika si pemilik kitab maut itu saja bisa menahan diri untuk tidak pelajari jurus berbahaya itu, tentunya sebagai seorang pendekar kebenaran Pandu Puber pun perlu memperta-hankan agar kitab itu jangan jatuh ke tangan orang sesat. Setidaknya jangan sampai dipelajari oleh seseorang yang punya niat jadi orang sesat.

"Kata kakek," ujar Ken Warok lagi, "Orang yang pelajari isi Kitab Panca Longok itu selalu punya gairah untuk bercumbu dengan lawan jenisnya, siapa saja. Karena kekuatan jurus 'Lima Setan.

Bingung' akan hadir melalui percumbuan. Satu kali bercumbu, satu kali kekuatan gaib meresap dalam diri orang tersebut."

"Apakah kakekmu beristri banyak?"

"Malah nggak punya istri, sejak nenekku meninggal akibat rindu ditinggal kakek berguru. Sejak itu kakek tak pernah mau punya istri lagi."

"Kenapa?"

"Memang dia lemah syahwat sih."

"Ooo... pantas!" Pandu Puber cengar-cengir saja.

"Ada kemungkinan kakek khawatir kalau nyawaku akan terancam oleh Ratu Cadar Jenazah." 

"Apakah kau murid tunggalnya kakekmu?"

"Kakek tak pernah punya murid. Tapi dia pernah ajarkan sebagian ilmunya padaku.

Sebagian kecil saja. Kata kakek, kalau semua ilmunya diajarkan kepada cucucucunya, bisa-bisa para cucu menjadi orang sesat, sebab ilmu yang dimiliki kakek adalah ilmu yang perlu disaring dulu

penggunaannya. Makanya aku cuma diberi sedikit dari sejumlah ilmunya yang juga sedikit itu."

"Dan kau tahu di mana kitab itu disimpan kakekmu?"

Ken Warok diam sebentar, kemudian menjawab dengan agak gugup. "Aku nggak tahu di mana kitab itu disimpannya."

BACA JUDUL LAINNYA

"Jangan bohong! Kau pasti tahu," kata Pandu sambil tersenyum. "Kau pasti punya niat mau pelajari sendiri kitab itu, kan?"

"Ah... siapa bilang?" Ken Warok bersungut-sungut.

"Iya aja. Ngaku deh, ngaku...," go-da Pandu Puber, mendesak secara halus.

"Ah nggak kok!" Ken Warok ngotot. Walau usianya lebih tua dari Pandu, tapi sikapnya kadang seperti berusia lebihmu-da dari Pandu. Si Pendekar Romantis tetap sabar menghadapi kebohongan itu.

"Ka ta kakekmu, hanya kau yang tahu tempat ia menyimpan Kitab Panca Longok itu?"

"Aaah... kakek bohong! Hobinya memang ngebohongin anak muda. Ternyata sampai mau masuk liang kubur aja masih bisa berbohong padamu."

"Bukan begitu," kata Pandu kalem sambil mengusap-usap punggung Ken Warok.

"Soalnya kakekmu bilang padaku supaya aku menyarankan padamu selain bersembunyi da- ri incaran Ratu Cadar Jenazah, aku juga disuruh membimbingmu untuk pelajari ilmu 'Lima Setan Bingung' itu. Kau harus secepatnya pelajari isi kitab tersebut sebelum orang lain merampas dan mempelaja-rinya."

"O, gitu ya?" Ken Warok tampak berseri. "Tapi, kau sendiri bagaimana" Apakah kau menyanggupi permintaannya?"

"Ya, kusanggupi untuk membimbingmu kalau memang kau mau pelajari ilmu itu."Senyum si pemuda kurus itu kian mengembang. Ia tahu siapa Pandu Puber. Ia pernah dengar cerita tentang kehebatan Pendekar Romantis, sebab itulah ia bangga dan gembira sekali jika Pandu Puber mau membimbingnya dalam mempelajari ilmu dalam Kitab Panca Longok itu. Bisabertemu muka dengan Pendekar Romantis saja sudah merupakan kebanggaan tersendiri bagi Ken Warok, apalagi bisa dibimbing oleh sang pendekar, rasa girangnya melebihi dilamar bidadari.

"Kalau begitu, sebaiknya  sekarang kita ambil saja kitab itu, Pandu."

"Lho, katanya kamu nggak tahu tempat penyimpanan kitab itu?"

Ken Warok cengar-cengir dan garuk-garuk kepala. 

"Sebenarnya sih... tahu. Cuma, yaah... seperti apa katamu tadi, aku memang ingin pelajari isi kitab itu biar menjadi orang sakti." Pandu Puber geleng-geleng kepala sambil tersenyum. Hatinya membatin, "Dasar penyu got! Akal bulusmu nggak akan bisa mengalahkan akal bulusku deh. Sebaiknya kubiarkan dulu dia mengambil kitab tu, setelah kitab ada di tangannya baru akan kubujuk agar ia mau hancurkan kitab itu demi menjaga kedamaian di bumi. Rasa-rasanya memang lebih baik kitab itu dihancurkan daripada dipelajari olehnya, nanti dia jadi orang terjahat di dunia!" 

Ternyata Kitab Panca Longok tidak disembunyikan di dalam rumah. Mungkin takut kalau dibaca para cucunya, Ki Mangut Pedas sembunyikan kitab itu jauh dari rumah. Pandu Puber diajak pergi ke sebuah bukit oleh Ken Warok.

"Kakek pernah ceritakan tempat penyimpanan itu, dan aku pernah ke sana tapi nggak ngapa-ngapain. Soalnya kakek masih hidup sih," katanya sambil melangkah menuju kaki bukit.

"Jadi kitab itu disembunyikan di puncak bukit?"

"Ya, sebab di puncak bukit itulah terdapat gua tempat kakekku dulu bertapa. Namanya gua Panas Dingin." Pandu tertawa pendek. 

"Gua kok namanya panas-dingin" Gua penyakitan itu sih!"

"Kata kakek, kalau kita berada di dalam gua itu udaranya bisa jadi panas dan bisa jadi dingin, tergantung kata batin kita. Kalau kita membatin; 'wah, kok gua ini panas, ya"', maka udara di dalam gua akan semakin panas. Kalau batin kita bilang 'dingin', ya dingin."

"Kau pernah masuk ke dalamnya?"

"Nggak berani. Kakek melarangku masuk ke gua itu. Tapi kalau melihat dari luar saja, memang pernah."

"Kenapa kakekmu melarangmu masuk?"

"Katanya, gua itu penuh jebakan yang mematikan."

Pandu Puber berpikir, "Kalau begitu, dia tak boleh ikut masuk, nanti langkahnya dapat membawa kematian baginya. Biasanya gua seperti itu memang dipasangi  jebakan cukup banyak dan maut dating tidak diduga-duga. Berarti aku nanti harus pertajam kewaspadaan serta pertajam ra-sa." 

Perjalanan menuju bukit memakan waktu tak terlalu lama. Sedikit melelah-kan, tapi perjalanan tidak banyak melalui semak belukar. Ketika mereka tiba di kaki bukit, Ken Warok minta istirahat sebentar, karena ia perlu kumpulkan tenaga untuk mendaki. Mereka beristirahat di tempat yang teduh, di bawah pohon besar yang bercabang dan berdaun mirip payung raksa-sa. "Setelah aku bisa kuasai isi kitab itu, aku akan balas dendam pada Ratu Cadar Jenazah," kata Ken Warok. "Akan kuo-brak-abrik istananya, kuratakan dengan tanah, bahkan kalau perlu kutenggelamkan ke dasar bumi. "Mendengar sesumbar itu, Pendekar Romantis hanya tersenyum saja. Tenang sekali sikapnya. Ia menggigit-gigit sebatang rumput yang belakangan ini menjadi acara kesukaannya jika sedang santai.

"Di mana istana Ratu Cadar Jenazah itu?"

"Di sana... di dekat pantai. Arah timur dari sini. Di sana ada bukit yang terlihat jelas dari lautan, namanya Bukit Gulana. Di bukit itulah Ratu Cadar Jenazah membangun istananya yang dikelilingi dengan benteng batu kokoh. Di sana ia punya murid dan tidak melarang muridnya lakukan pembajakan atau perampokan asal ada komisinya buat sang ratu."

"Jahat sekali dia, ya?"

"Huuh... bukan saja jahat, tapi ju-ga galak, angkuh, semena-mena dan pokoknya memuakkan deh. KLIK DI SINI


Posting Komentar untuk "PENDEKAR ROMANTIS 06 KITAB PANCA LONGOK BAGIAN 2"