PENDEKAR ROMANTIS 06 KITAB PANCA LONGOK BAGIAN 5

PENDEKAR ROMANTIS 06 KITAB PANCA LONGOK 

BAGIAN 5

Namanya Dupa Dulang, orang Perguruan Tanduk Singa. Gurunya yang bernama Dalang Setan adalah orang yang sedang berusaha menundukkan hati Ratu Cadar Jenazah. Tentunya dia ada di pihak Ratu Cadar Jenazah untuk mengambil perhatian perempuan tersebut."
PENDEKAR ROMANTIS 06 KITAB PANCA LONGOK  BAGIAN 4

RAJA SASTRA-  "Siapa orang itu?"

"Namanya Dupa Dulang, orang Perguruan Tanduk Singa. Gurunya yang bernama Dalang Setan adalah orang yang sedang berusaha menundukkan hati Ratu Cadar Jenazah. Tentunya dia ada di pihak Ratu Cadar Jenazah untuk mengambil perhatian perempuan tersebut."

"O, jadi Ratu Cadar Jenazah dapat bantuan dari Dalang Setan?"

"Benar. Apakah kau ciut nyali?"

Pandu Puber tidak menjawab selain tersenyum kalem, masih menggigit-gigit rumput. Ia sempat berbisik,

"Apakah kau merasa sanggup hadapi dia?"

"Kenapa tidak"! Mundurlah, biar ku-selesaikan urusan ini dengannya!" Pendekar Romantis bukan pendekar

yang gila bertarung. Ia selalu memberi kesempatan kepada pihak lain untuk lakukan pertarungan semasa pihak lain itu merasa sanggup selesaikan urusannya.  Jika memang sudah tidak sanggup, Pandu Puber biasanya tampil tanpa diminta oleh yang bersangkutan. Itulah sebabnya Pandu Puber mundur agak jauh dari gadis pelacak itu, dan menunggu bagaimana hasil kerja si gadis pelacak tersebut.

"Dupa Dulang, sebenarnya apa maksudmu mencuri percakapanku tadi" Jawab saja dengan jujur!"

Dupa Dulang tarik napas dengan mata masih tampak sangar dan sesekali melirik ke arah Pandu Puber. Tak lama kemudian terdengar suaranya yang besar itu. "Aku hanya sekadar lewat saja. Tak bermaksud membayangimu, Belati Binal."

"Kalau memang kau hanya sekadar lewat dan kebetulan saja telah mojok di balik semak tadi, sekarang kuizinkan kau meneruskan perjalananmu!"

"Lalu bagaimana dengan Kitab Panca Longok itu?"

Pandu dan Belati Binal sempat saling pandang sejenak. Belati Binal akhirnya berkata, 

"Aku tak akan lanjutkan perjalanan sebelum temukan seorang anak muda yang bernama Ken Warok!"

"Untuk apa kau mencari Ken Warok?"

"Tanyakan pada guruku sendiri; Si Dalang Setan. Yang jelas salah satu tugas perjalananku adalah mencari tahu di mana Kitab Panca Longok berada."

"Apakah gurumu juga inginkan kitab itu?"

"Ya. Sebagai mas kawin untuk melamar Ratu Cadar Jenazah."

"Kalau begitu, akulah penghalangmu dan kau adalah penghalangku, Dupa Dulang!" kata Belati Binal dengan tegas sekali.

Pandu sendiri memujinya dalam hati, menilai Belati Binal gadis yang tak punya rasa takut kepada lawan seperti apa pun.

Kalah-menang ia akan lakukan dulu pertarungan tersebut. Jadi tak pernah memikirkan hasil akhir dari pertarungannya nanti.

"Aku punya gagasan baru," pikir Pendekar Romantis. "Mumpung Belati Binal sedang berhadapan dengan Dupa Dulang, sebaiknya aku segera menuju ke puncak bukit itu. Aku harus mencari sebuah gua yang ciri-cirinya seperti diceritakan Ken Warok dalam perjalanan tadi. Aku harus sambar dulu kitab itu sebelum disambar orang yang membawa lari Ken Warok! Sebaiknya hal ini kulakukan secara diam-diam supaya kedua orang itu tidak mengejarku dengan curiga."

Belum sempat bergegas pergi, tahu-tahu Pandu Puber terpental ke arah belakang sekitar empat tindak dari tempatnya berdiri. Gara-garanya, Dupa Dulang dan Belati Binal sama-sama menguji ilmu mereka. Sebuah pukulan bersinar merah dari tangan Belati Binal dilepaskan. Sinar merah memanjang lurus itu dihantam dengan sinar merah pula dari tangan Dupa Dulang.

Clap, clap...! Blegar...!

Gelombang daya ledak benturan dua sinar merah itu membuat kepalanya pun sa-masama terpental. Kejap berikutnya, kedua orang itu sudah sama-sama bangkit pula. Pandu Puber malah terlambat bangkit karena saat jatuh tadi kepalanya sempat terbentur batu dan merasa pusing sedikit. Saat si tampan itu bangkit, ternyata Belati Binal sudah lepaskan serangan lagi kepada Dupa Dulang.

Sebuah sentakan kaki ke tanah membuat tubuh gadis cantik yang tak mau tersenyum sejak tadi itu melesat ke udara dan bersalto dua kali. Pada putaran salto nya yang kedua, ia melemparkan sebilah pisau yang saat dicabutnya tak ketahuan gerakannya. Wuuutt...! Trang...! Pisau itu mental ke sisi kiri pupa Dulang, menancap di salah satu

pohon. Jraab...! Sementara itu Pandu Puber clingak-clinguk cari kesempatan untuk lari ke arah puncak. Rupanya Dupa Dulang pun cukup tangkas dalam mencabut golok dan mengibaskan-nya.

Pisau itu bisa dibuang di samping oleh kibasan golok Dupa Dulang. Namun pa-da saat itu, ketika Belati Binal daratkan kakinya ke tanah, ia sudah menggenggam sebilah pisau agak panjang, seukuran dari siku ke pergelangan tangan. Kedua tangannya berkelebat ke sana-sini dengan lincah, membuat Dupa Dulang sempat bingung menghadang jurus 'Pisau Kilat'-nya si Belati Binal. Akibatnya, lelaki berwajah sangar itu melompat mundur sekitar seten-gah tombak untuk pandangi kelemahan gerak lawannya.

Selagi sibuk-sibuknya Belati Binal hadapi Dupa Dulang itulah Pandu Puber melesat pergi dengan pergunakan jurus 'Angin Jantan' yang kecepatannya menyamai kecepatan badai mengamuk, bahkan

terka-dang bisa melebihi kecepatan kilatan cahaya petir.

Trang, trang, breet...!

Belati Binal menangkis sabetan golok lawannya dua kali. Gerakan pisau ditangannya bagaikan besi panjang yang me-lapisi setiap tubuhnya. Malahan ketika golok datang dari atas dan pisau menangkis hanya sekelebat, tahu-tahu pisau itu bergerak menyabet dari bawah ke atas dan robeklah bagian perut buncit si Dupa Dulang. "Aaahg...!" Dupa Dulang mendelik, lalu menyeringai menahan rasa sakit. Padawaktu itu tubuh Belati Binal sempat me-lenting di udara satu kali kemudian bersalto dua kali lagi. Wuk, wuk...! Jleeg...!

"Kuperingatkan padamu, Dupa Dulang," kata Belati Binal menghardik lawannya, "... jika kau masih ingin punya niat merebut kitab itu dari tangan Ken Warok, maka keselamatan nyawamu tak akan kujamin. Tapi jika kau pulang dan tidak ikut campur dalam masalah ini, maka kese-lamatanmu dalam perjalanan akan kujamin!"

"Persetan dengan kata-katamu! Teri-malah jurus 'Golok Singasana' ini! Heaaat." Dupa Dulang berkelebat menerjang gadis cantik itu. Namun tiba dipertengahan jarak ia jatuh sendiri dari ketinggian gerakan layangnya itu.

Brrukk...! Kulit tubuh Dupa Dulang menjadi

berbintik-bintik hitam seperti berjamur.  Dupa Dulang sendiri tak bisa sembunyikan lagi kecemasannya. Ia pandangi luka di bagian perutnya yang memanjang dari bawah ke atas. Ternyata luka itu cepat menjadi kehitam-hitaman.

"Celaka! Aku kena racun di ujung pisau itu. Wah, gawat nih kalau begini! Oh, badanku jadi menggigil seperti orang kedinginan. Kulitku..., ya ampun, kulitku malah jadi seperti kulit kodok"! Hemm..., sebaiknya aku pulang ke perguruan dulu, selain melaporkan hal ini juga meminta obat pada Guru untuk melawan kekuatan racun yang sudah telanjur mengalir bersama darahku ini!"

Wuuuts...! Ia melesat seperti seekor rusa melesat masuk ke persembunyiannya manakala didatangi manusia.

"Hei, jangan lari kau! Tanggung nih...!" seru Belati Binal, tapi seruan itu tidak dihiraukan oleh Dupa Dulang. Lelaki itu tetap berlari dengan secepat-cepatnya. Kalau bisa sih maunya terbangsaja, tapi mengingat biaya penerbangan mahal dan tak terjangkau olehnya, maka

Dupa Dulang harus kerahkan tenaga untuk berlari sambil menahan sakit dalam tubuhnya. Sayang sekali Pandu terburu-buru pergi. Coba kalau tidak, ia akan dapat melihat jurus lincahnya si Belati Binal.

Melihat di situ tak ada Pandu, maka Belati Binal pun pergunakan indera penciuman-nya untuk segera berlari ke arah bau keringat Pandu Puber. Tapi apakah Belati Binal dapat menemukan Pandu dan Pandu sendiri apakah bisa menemukan gua tempat penyimpanan kitab pusaka tersebut. 

SEBUAH gua berpintu lebar ditemukan Pandu saat hampir mencapai puncak bukit.Ada tiga pohon berjajar merapat di depan pintu gua itu, sehingga keberadaannyatak mudah dilihat orang dari luar. Pandu Puber clingak-clinguk dulu sebelum masuk ke gua tersebut. Siapa tahu ada orangKisah Pendekar Bongkok 12 Dewa Linglung 10 Rahasia Istana Kuno Hamukti Palapa 8 yang menguntitnya dengan maksud jahat, maka Pandu harus mengusir dulu orang itu.

"Kayaknya aman-aman saja kok," pikir Pendekar Romantis itu. "Tapi benarkah gua ini yang dimaksud Ken Warok" Ah, iya...! Pasti gua ini yang dulunya seringdipakai bertapa Ki Mangut Pedas. Buktinya ada bekas jalan setapak menuju mulutgua, walau agaknya jalan setapak itu sudah La-ma tidak dilalui orang. Hmmm...!Sebaiknya kuperiksa saja gua ini, dan kucari kitab itu di dalamnya. Janganjangan malah di dalam sudah ada Ken Warok dengan orang yang menculiknya itu" Kalau begitu aku harus hati-hati. Siapa tahu dapat serangan mendadak dari dalam gua, bisa bo-nyok wajahku nanti."

Dengan hati-hati Pandu Puber menyu-suri lorong gua tersebut. Sebelum masukterlalu dalam, Pandu temukan tulisan pada sebongkah batu besar dekat pintumasuk, ditulis dengan menggunakan getah pohon berwarna coklat. Tulisan itu berbunyi: "Yang Tidak Berkepentingan Dilarang Masuk."

Dalam hati si tampan bertato bunga mawar itu membatin, "Kayaknya tulisan ini dibuat sudah cukup lama. Mungkin mendiang Ki Mangut Pedas yang menulisnya semasa ia suka bertapa di sini. Dan..., berarti aku boleh masuk dong, soalnya aku kan punya kepentingan" O, ya... tapi menurut KenWarok, gua ini penuh dengan jebakan maut"

Hmm... kini aku harus lebih waspada terhadap keadaan sekelilingku."

Dengan pelan dan sangat hati-hati Pandu Puber melangkah lebih ke dalam la-gi. Suasana di dalam gua itu cukup remang-remang karena mendapat sisa bias sinar matahari dari mulut gua. Bahkan Pandu Puber masih bisa membaca tulisan yang ada di dinding gua sebelah kiri yang berbunyi:

"Dilarang Kencing Di Sini." Pandu sempat tersenyum, lalu memandang ke arah anak panah yang menuju ke bawah.

"Astaga..."!" Pandu melompat mundur dengan kaget. Ternyata di bawah tulisan itu ada seekor ular sebesar betis yang sedang melingkar dengan menyembunyikan kepalanya di balik badan. Pandu Puber sempat berdebar-debar karena kaget dan berkata membatin, "Lagian siapa yang berani ngencingin ular itu" Minta dicaplok

'tombak keramatnya' apa"!"

Rupanya lorong gua tidak lurus. Lorong itu membelok ke kiri. Tepat di sudut tikungan terdapat tulisan lagi yang berbunyi: "Hati-hati Jalan Licin." serta tanda panah menunjukkan ke arah kiri.

"O, ternyata makin ke dalam kok semakin terang?" pikir Pandu Puber. "Ada cahaya samar-samar dari mana ya" Lorong ini ternyata nggak gelap. Malah lebih gelap di dekat ular tadi."

Semakin ke dalam semakin terang su-asananya. Tapi sinar terang yang ada di situ menampakkan cahaya hijau muda. Pandu Puber penasaran sekali, ingin mengetahui sumber penerangan itu, sehingga langkahnya semakin dipercepat, ketajaman geraknya ditingkatkan lagi, takut tahu-tahu ada rombongan tombak menghujam dari arah samping atau atas. Tapi ternyata memang nggak ada apa-apa. Dan lorong itu terasa semakin lebar, semakin berudara sejuk.

"Oh, ternyata cahaya terang ini datangnya dari dinding gua?" batin Pandu Puber.

"Gila! Rupanya bebatuan yang menjadi dinding gua ini mengandung energi cahaya, semakin gelap semakin terang, Wah, dicongkel sedikit buat batu cincin bagusnih?" Memang dinding itu mengandung fosfor. Keadaan gelap itulah yang membuat unsur fosfor memancarkan sinar lebih terang lagi. Pendekar Romantis memandangi dinding itu dengan penuh perasaan heran dan terkagum-kagum. Sambil tetap melangkah pelan, matanya memandang ke sana-sini dengan mulut terbengong karena terpesona.Bahkan sepasang mata wajah tampan itu sempat membaca tulisan yang dipahatkan pada dinding tersebut. Tulisan itu berbunyi: "Harap Tenang" . Di samping tulisan itu ada pahatan huruf lain berbunyi: "Dilarang Mengeluarkan Anggota Badan" . Pandu berpikir, "Apa maksudnya tulisan-tulisan ini" Siapa penulis sebenarnya?" Namun tiba-tiba langkah Pandu Puber terhenti sejenak karena beberapa langkah dari tulisan itu, ternyata lorong menjadi dingin. Dingin sekali seperti berada di dalam lorong gunung es. Tubuh Pandu Puber menjadi menggigil, kedua tangan memeluk tubuh sendiri. Hawa dingin yang dirasakan itu seperti mau membekukan darah. Giginya gemeretuk karena bergetar.

"Edan! Dinginnya bukan main" Pantas di sana ada tulisan: 'Dilarang MengeluarkanAnggota Badan', artinya nggak boleh telanjang. Memangnya siapa sih yang mau

telanjang dalam udara sedingin in! kalau bukan orang gila?"

Langkah Pandu diteruskan, semakin jauh dari tulisan tadi semakin menggigil tubuhnya. Bahkan ia sempat batuk satu kali karena agak mengalami sesak napas.Mungkin paru-parunya mau membeku.

"Uhuk...!"

Weerrr...! "Lho, lorong ini bergetar"!" Pandu mendelik tegang. Lorong memang bergetar. Batuan di langit-langit lorong gemeretak, menerbangkan serbuk tanah, seakan mau runtuh. Pandu jadi ketakutan dan bermaksud keluar dari lorong itu. Tetapi getaran dinding dan atap segera berhenti. Suasana menjadi tenang dan hening kembali. "Ooo... rupanya dinding lorong ini peka oleh suara" Ada suara keras sedikit akan menimbulkan getaran yang mungkin bi-sa sampai meruntuhkan atap lorong ini.

Pantas di sana tadi ada tulisan: 'Harap Tenang', maksudnya kalau berisik bisa bikin dinding lorong menjadi runtuh dan jalanan ini tertutup reruntuhannya. Hmmm... ya, ya... ternyata semua tulisan tadi ada maknanya." Kini lorong itu membelok ke kanan. Dindingnya masih memancarkan cahaya fosfor hijau muda bening. Tapi suhu udaranya sudah tidak sedingin di lorong yang tadi.

Semakin melangkah ke dalam Pandu semakin rasakan udara menjadi hangat, namun bukan berarti gerah. Masih ada sisa kesejukan yang nyaman di badan. Dan dininding lorong yang ukurannya lebih besar lagi dari yang tadi itu terdapat tulisan juga yang berbunyi: "Bayarlah Dengan Uang Pas.".

"Apa lagi maksud kalimat ini?" pikir Pandu. "Ah, nggak usah dipikirkan sekarang, nanti juga akan ketemu sendiri jawabannya."

Langkah diteruskan, kira-kira mencapai sepuluh langkah lebih, barulah kaki Pandu berhenti. Matanya memandang ke arah depan. Di sana ada ruangan luas bercahaya hijau muda bening. Ruangan itu bagaikan melebar ke kanan-kiri lorong, tapi dalam jajaran lurus lorong itu ada juga lorong kecil yang entah menuju ke mana, cahaya dinding di sana juga masih hijau muda. Sesuatu yang membuat mata Pendekar Romantis tidak berkedip adalah keadaan di dalam ruangan lebar berlangit-langit agak tinggi itu. Di ruangan tersebut ada kolam berair bening memancarkan cahaya merah sirup. Segar sekali kelihatannya. Kolam itu bertepian batu-batu tak beraturan, tapi tersusun rapi, seakan ada yang me-nyusunnya. Tepatnya, kolam itu ada di sebelah kanan Pandu. Sedangkan di sebelah kiri Pandu, ada sesuatu yang kian membuat mata Pandu kian lebar.

Sebuah batu berbentuk lingkaran dengan tinggi sebatas lutut mempunyai permukaan yang datar. Batu itu terletak disudut. Batu itu juga memancarkan cahaya fosfor hijau bening. Yang membuat mataPandu terpukau bukan karena keindahan batu itu, namun adanya sesosok tubuh yangduduk bersila di atas batu tersebut.Orang yang duduk diatas batu itumempunyai rambut panjang sepinggang kurang, diriap tanpa ikatan apa-apa. Rambutitu tampaknya lembut dan halus, hitammengkilat namun bukan berminyak. Pemilik rambut itu adalah seorang perempuanber-paras aduhai cantiknya. Bentuk wajahnya oval, sesuai dengan hidungnya yangman-cung. Bibirnya sedikit agak tebal, tapi merangsang. Seakan bibir itumengundang minat Untuk melumatnya.Perempuan itu mengenakan pakaian model jubah panjang warna orange. Terbuat dari kain tipis transparan dengan model bagian dalam bertali-tali. Masing-masing tali berkain sehingga jubah itu mempunyai bagian depan yang tertutup. Memang tidakbegitu rapat sih, tapi setidaknya tidak terbuka ngablak. Karena tipisnya kain orange tersebut, maka apa yang ada di balik jubah itu terlihat membayang.Perempuan itu hanya memakai jubah tersebut tanpa pelapis apa-apa lagi. Tak herankalau bagian dalamnya tampak mirip perawan dalam kelambu.Pandu mendekat pelan-pelan setelah menarik napas untuk meredakan emosi gemasnya. Semakin dekat semakin terlihat jelas bahwa perempuan itu mempunyai kulitkuning, tangannya berbulu lembut samar-samar, menantang minat untuk mengelusnyapenuh gairah. Kukunya panjang, tapi indah, walaupun tajam. Pada saat ituperempuan yang berusia sekitar tiga puluh tahun itu sedang memejamkan mata.

"Ooo... dia lagi semadi," kata Pandu dalam hatinya. "Tapi alangkah cantiknya dia" Tubuhnya yang mulus itu tidakkurus, tidak gemuk, tapi sekal. Padat dan hangat kelihatannya. Wow, alangkahasyik-nya tenggelam dalam pelukan perempuan seperti dia?"Tiba-tiba perempuan itu membuka matanya. Byak...!

"Macan, Mack!" gumam Pandu dalam hati lagi, karena mata itu begitu indah danpenuh daya tarik untuk bercumbu. Mata itu termasuk lebar juga sih, tapi tidaksebesar jengkol. Bentuknya indah, punya bulu mata lentik. Dan caranya memandangsungguh mendebarkan hati setiap lelaki, karena mata itu sedikit sayu. Seolaholah dia adalah type wanita yang merindukan kehangatan seorang lelaki. Pendekar Romantis sempat grogi sebentar ketika dipandangi oleh perempuan tersebut. Namun setelah menelan napas dua kali, ia mampu mengatasi dirinya walaupun debar-debar dalam dadanya masih bergemu-ruh, penuh harapan untukmendekat. Harapan itu pun terbukti; perempuan tersebut sunggingkan senyum tipis,seakan suatu kekuatan magnit yang menyedot tubuh Pandu hingga melangkahmendekatinya. Dalam jarak tiga langkah di depan perempuan tersebut, Panduhentikan langkah. Matanya masih belum mau berkedip karena keelokan di balik kaintipis itu terlihat lebihjelas lagi. "Apa maksudmu datang kemari mengganggu bertapaku, Anak Muda?" sapa si perempuanberbibir sensual dengan suara serak-serak basah kuyup, seakan rintihan malamyang merangsang gairah lelaki.

"Maafkan aku, aku tidak bermaksud mengganggu bertapamu. Aku tidak tahu kalau kausedang bertapa, Nyonya."

"Jangan panggil aku Nyonya, aku tidak tahu artinya. Panggil saja namaku: DewiSelimut Malam."Rupanya dia perempuan yang murahsenyum. Habis ngomong begitu saja langsung tersenyum. Dansenyumnya itu memang indah. Pantas buat pajangan di dalam kaca buffet.

"Namamu indah sekali," kata Pandu ketika Dewi Selimut Malam turun dari tempatduduknya. "Barangkali namamu juga indah, Anak muda. Siapakah namamu sebenarnya, Nak?""Namaku Pandu Puber, Tante.""Oh, nama yang bagus sekali untuk pribadiku. Kau memang masih tampak puber,sesuai dengan ketampanan wajahmu dan, ooh... kau punya tato di dadamu. Alangkah indahnya tato itu. Boleh aku memegang-nya?"

"Apa yang ingin kau pegang?"

"Tatomu itu."

"Silakan pegang, asal yang lainnya jangan disentuh."

"Maksudmu?"

"Mataku jangan disentuh, nanti ke-colok." Pandu sengaja menggoda dalam canda, ternyata perempuan cantik yang mengaku Dewi Selimut Malam itu bisa diajak bercanda. Tawanya pelan, serak, seperti orang malas-malasan baru bangun tidur. Tangan berjari lentik dengan kuku panjang segera meraba dada Pandu Puber.

Mata sayunya menatapi tato bunga mawar di dada Pendekar Romantis. Saat itu, terciumlah aroma harum cendana bercampur bunga melati dari tubuh Dewi Selimut Malam. Aroma harum yang lembut itu mulai membangkitkan daya khayal kemesraanPandu Puber. Pemuda itu gelisah, namun ditutup-tutupi dengan ucapan yang lirih.

"Apakah kau menyukai tatoku ini?"

"Sangat suka" jawabnya mirip orang merengek. "Setahuku hanya satu orang yangpunya tato bunga mawar seperti ini," kata Dewi Selimut Malam lagi.

"Apakah ada orang selain aku yang bertato seperti ini?" tanya Pandu.

"Ada. Aku pernah menemuinya dalam semadiku. Tapi dia mengaku anak dewa yang bergelar Pendekar Romantis."

Pandu Puber agak kaget, lalu berkata, "Akulah Pendekar Romantis."

"O, ya?" dengan mata sayu ia menatap Pandu, tapi tangannya masih merabaraba dada bertato itu. "Jika benar kau Pendekar Romantis, berarti kau bisa lebih romantis lagi dari saat ini, bukan?"

Pandu sedikit menyimpan kecurigaan melihat senyum menantang sang wanita.

"Jangan-jangan dia calon istriku; Dian Ayu Dayen" Hmmm... coba ku kecup keningnya, kalau memang dia adalah Dian Ayu Dayen, maka dia akan berubah jika ku kecup keningnya."

Tanpa permisi sedikit pun, tahutahu Pandu nyelonongkan mulutnya dan kening itu pun dikecupnya, cuup...! Setelah itu kepalanya buru-buru ditarik mundur dan tegak kembali.

Perempuan itu terperangah girang, mengusap-usap keningnya dengan mata memandangsayu pada Pandu.

"Kau curang. Aku belum siap. Ulan-gi!"

Pandu hanya tersenyum menawan. Tapi hatinya membatin, "Sialan! Dia tetap begini, berarti dia bukan Dian Ayu Dayen. Tapi... oh, mata dan suaranya sungguh menggugah semangatku untuk bertarung dalam kelembutan. Wah, bagaimana ini kalau sampai aku yang celeng sendiri terhadapnya" Jangan sampai, ah! Sebagai seorang pendekar, aku tak boleh mudah jatuh cinta. Tapi kalau kepepet gimana" Yaah... jatuh sedikit nggak apa-apalah!"

Dewi Selimut Malam tertawa lirih,

"Jatuh banyak juga nggak apa-apa," katanya, dan Pandu terperanjat. Ia segera sadar bahwa perempuan cantik punya dada menantang itu ternyata bisa mendengar suara batin seseorang. Itu berarti Dewi Selimut Malam punya ilmu cukup tinggi. Pandu Puber akhirnya putuskan diri untuk tidak bicara sembarangan walau di dalam ha-ti. "Santailah, jangan tegang-tegang!" kata Dewi Selimut Malam. "Anggap saja gua ini adalah tempat tinggalmu sendiri."

"Berapa lama kau bertapa di sini?" Pandu memandangi keadaan sekeliling, yang kosong tanpa perabot apa pun itu. DewiSelimut Malam menjawab dengan mata ikut memandangi sekeliling juga.

"Aku melakukan semadi di sini baru empat puluh tahun."

"Ah, yang benar"!"

"Swear! Aku nggak bohong."

"Kok kamu masih semuda ini" Kok masih secantik ini?"

"Aku bertapa sejak berusia dua puluh delapan tahun. Berarti sekarang usia-ku sebenarnya sudah enam puluh delapan tahun. Berkat sering cuci muka dan mandi pakai air kolam itu, kecantikanku tak mengalami perubahan."

"Ooo...." Pandu manggut-manggut sambil pandangi air kolam warna sirup merah segar itu. "Perputaran waktu di dalam gua ini dengan di luar gua berbeda sekali. Di luar gua waktu berputar dengan cepat, sedangkan di dalam gua ini waktu nyaris tidak berputar. Jadi siapa yang ada di dalam gua ini akan awet muda, kalau waktu masuk ke sini dia memang berusia muda. Kalau sudah tua ya tetap saja tua. Tapi kalau mau rajin cuci muka dengan air kolam itu, maka ketuaannya akan luntur dan menjadi cantik jelita. Makanya air kolam itu dinamakan: 'Keringat Bidadari'. Pengawet kecantikan."Pandu segera terbayang calon istrinya yang berstatus seorang bidadari tulen dari kayangan. Hati Pandu pun membatin, "Kalau begitu gua ini pasti ada hubungannya dengan Dian Ayu Dayen.

Apakah... apakah Dewi Selimut Malam mengenal nama itu, ya?"

Tiba-tiba Dewi Selimut Malam berka-ta, "Tidak, aku tidak mengenalnya. Siapa itu Dian Ayu Dayen?"

Pandu nyengir bingung, tapi akhirnya menjawab juga, "Dia adalah Bidadari Penguasa Kecantikan."

"O, kalau begitu dialah yang bergelar: Ratu Ayu Sejagat. Beliau memang Penguasa Kecantikan"

"Mungkin saja itu memang gelarnya. Tapi aku mengenal nama pribadinya: Dian Ayu Dayen."

"Apakah kau kenal dekat dengannya?"

"Bagaimana dengan dirimu" Apakah kenal dekat dengannya?" Pandu balas bertanya sebelum menjawab, karena ia ingin tahu siapa sebenarnya Dewi Selimut Malam itu.

"Aku adalah abdinya, tugasku menjaga Kolam Keringat Bidadari itu." Pandu memandang dengan dahi berkerut dan mulai mundur sedikit menjauh, karena ia jadi tak enak hati jika mau macam-macam sama perempuan itu, sebab perempuan ituadalah pembantunya Dian Ayu Dayen. Kelak jika Pandu sudah menikah dengan bidadari itu, maka Dewi Selimut Malam akan menjadi abdinya juga. Malu dong kalau harus bikin skandal dengan calon pelayannya sendiri"

"Menyesal sekali aku ketemu dia. Ternyata dia pelayan calon istriku. Mendingan ketemu perempuan lain saja, jadi

aku kalau mau ini itu nggak malu," pikir Pandu, dan ternyata pikiran itu pun ter-baca oleh Dewi Selimut Malam.

"Kalau memang mau ini-itu, aku nggak akan lapor sama atasanku kok. Itu kan rahasia pribadi kita sendiri," senyumnya makin menggoda. Pandu cengar-cengir malu sendiri. Pandu segera alihkan bicara dengan bertanya,

"Apakah kau juga warga kayangan?"

"Tidak," ja    wab Dewi Selimut Malam sambil dekati Pandu. "Dulu, ketika aku berusia dua puluhan aku seorang pelacur. Pada suatu hari aku kena penyakit yang tak bisa disembuhkan karena belum ada obatnya, namanya penyakit 'DIA'."

"Apa itu penyakit 'DIA'?" tanya Pandu merasa aneh.

"'DIA' adalah singakatan dari

'Dalam Incaran Akherat'."

"Aneh juga namanya."

"Memang dalam waktu dekat kalau aku nggak segera berobat, penyakit 'DIA' dapat merenggut nyawaku dan memindahkan nyawaku ke akherat. Maka aku segera cari obat ke sana-sini, sampai akhirnya kute-mukan gua ini dalam keadaan hampir putus asa. Lalu aku bertapa di sini untuk memo-hon kesembuhan kepada sang Dewata. Tapi aku segera ditemui oleh Gusti Ratu Ayu Sejagat."

"Lalu apa yang dilakukannya terhadap penyakitmu itu?"

"Tentu saja aku diobati tanpa operasi. Aku bisa sembuh asal aku mau menjadi pelayannya yang bertugas menjaga Kolam Keringat Bidadari. Pada mulanya aku tak sanggup, karena secara jujur kukatakan kepada beliau, bahwa aku wanita normal yang masih butuh santapan batin, masih butuh cinta dan kehangatan lelaki, jadi aku butuh waktu untuk pergi berpetualang dalam cinta. Tetapi beliau bilang, bahwa aku akan mendapat kepuasan batin sendiri walau tetap berada di dalam gua ini dengan cara, setiap lelaki yang masuk gua ini boleh menjadi pelayan cintaku sepuas hatiku. Tapi tak boleh menahannya apabila lelaki itu ingin pergi."

"Sudah ada berapa lelaki yang masuk gua ini?"

"Baru kau. Selama empat puluh tahun bertapa, baru kau orang yang masuk gua ini."

"Gawat!"

"Nggak apa-apa kok. Aku nggak terlalu buas," bisiknya malu-malu dengan suara serak menggelitik gairah.

"Tapi kenapa kau melakukan bertapa padahal penyakitmu sudah sembuh?"

"Gusti Ratu Ayu Sejagat menyuruhku bertapa selama empat puluh tahun untuk mendapatkan ilmu kesaktian yang hebat.

Setelah empat puluh tahun, masa bertapaku akan berhenti sendiri dengan alasan apa saja. Ternyata alasan yang ada adalah ke-datanganmu kemari."

Pandu Puber manggut-manggut walau hatinya berdebar-debar antara indah dan pasrah. Sementara itu benaknya masih ber-kecamuk di luar kesadarannya. "Pantas di sana tadi ada tulisan: 'Bayarlah Dengan Uang Pas', mungkin karena dia bekas pelacur jadi harapan masa lalunya masih terbawa sampai sekarang." Kecamuk benak Pandu didengar Dewi Selimut Malam, dan perempuan cantik itu tertawa kecil seraya berkata, "Ya, memang aku yang menulis kata-kata di dinding lorong sana. Itu kulakukan sebelum ada pe-rintah bertapa selama empat puluh tahun." "Aku tak memasalahkan hal itu," ka-ta Pandu mengalihkan anggapan si perempuan cantik itu. "Yang kupikirkan adalah kesalahanku. Ternyata aku salah masuk gua. Yang kucari adalah gua tempat bertapa seorang tokoh tua bernama Ki Mangut Pedas.

 "O, gua itu ada di sebelah sana.

Memang masih satu jurusan dengan gua ini, tapi Ki Mangut Pedas tidak pernah masuk kemari. Dia hanya diam di sebelah sela-tan, lewat lorong tembus yang kecil itu. Dia memang bekas tetanggaku di sini. Tapi dia bukan ketua RT-nya. Akulah ketua pertapa di sekitar sini."

"Jadi..., kau juga mengerti kalau Ki Mangut Pedas sembunyikan Kitab Panca Longok di guanya sana?"

"Tentu saja aku mengerti. Tapi kitab itu sudah diambil oleh cucunya yang bernama Ken Warok."

"Hahh..."!" Pandu terkejut. Ia mulai bingung.

"Baru beberapa waktu yang lalu kitab itu diambil, karena dipaksa oleh seorang utusan dari Ratu Cadar Jenazah."

"Celaka! Jadi, sekarang kitab itu di mana?"

"Ya, di sana! Di tangannya Ratu Cadar Jenazah!"

BACAAN LAINNYA

"Kalau begitu aku harus menyusul ke sana dan merampas kitab yang akan membuatnya menjadi tokoh paling sesat itu!"

"Kau tak akan bisa keluar dari gua ini, Pandu!"

"Kenapa?"

"Pintu gua kututup dengan kekuatan batinku. Tak akan ada yang bisa membu-kanya kecuali aku sendiri."

"Kalau begitu, bukalah sekarang ju-ga. Aku akan pergi sekarang juga."

"Untuk membuka pintu gua harus memakai kunci. Dan kunci itu ada di antara kedua kakiku. Ambillah dengan kemesraan-mu, Pandu."

"Wah, kacau nih!"

SEPERTI apa yang dikatakan Dewi Selimut Malam, perputaran waktu di dalam gua dan di luar gua sangat berbeda. Pandu Puber sangat terkejut ketika keluar dari gua dan turun ke kaki bukit berpapasan dengan Belati Binal. Hal yang membuat Pandu terkejut adalah keadaan gadis pelacak yang penuh luka sekujur tubuhnya. Lu-ka parah diderita Belati Binal, mengakibatkan gadis itu hanya mampu duduk terku-lai di tanah bersandar batang pohon. Lu-ka-luka seperti bekas pukulan tenaga dalam dan goresan senjata tajam sudah mulai membusuk. Ketika Pandu Puber tiba di situ, Belati Binal dalam keadaan nyaris kehabisan napas. Matanya bengkak sebelah, yang satu bisa dibuka tapi kecil sekali. Hati Pandu Puber menjadi iba, sehingga ia bu-ru-buru menolongnya.

"Apa yang terjadi, Belati Binar?" Gadis itu tak bisa menjawab. Bibirnya pecah dan luka memborok. Tak ada kecantikan lagi di wajah Belati Binal. Ia tak sanggup menggerakkan bibirnya untuk bicara, tapi matanya yang sebelah memandang kecil seakan penuh permohonan bantuan. Satu-satunya kalimat yang bisa didengar Pandu dengan cara mendekatkan telinga ke mulut gadis itu adalah pernya-taan kepasrahannya.

"Sempurnakanlah kematianku."

"Tidak. Kau tidak boleh mati sebelum menjelaskan padaku apa yang terjadi padamu dan siapa lawan yang membuatmu sampai begini!" tegas Pandu Puber. Pendekar Romantis segera pergunakan jurus 'Hawa Bening'nya, salah satu jurus yang hanya dimiliki keturunan campuran antara darah dewa dan darah jin itu berguna untuk penyembuhan. Kekuatan jurus itu sangat tinggi, sehingga bisa dikatakan sebagai jurus penyembuhan yang cukup sakti. Dengan satu sentakan tangan kanannya, jari tengah Pandu mengeras lurus dan dari ujung jari itu melesat sinar putih bening seperti kaca. Sinar itu menghantam pertengahan dada Belati Binal. Clapp...!

Dess...! Lebih dari lima helaan napas sinar bening mirip kaca itu dibiarkan menghantam tubuh Belati Binal. Beberapa saat kemudian, tampak kulit tubuh yang terluka itu bergerak-gerak. Dari berubah warnanya sampai gerakannya membentuk kesatuan seperti semula.
Sedikit demi sedikit luka yang ada menu-tup kembali. Belati Binal sendiri mulai rasakan hawa sejuk yang menjarah sekujur tubuhnya, menyirnakan rasa sakit yang ta-di nyaris tak mampu dikuasai sedikit pun. Wuuut...! Tiba-tiba sekelebat bayangan melintas di sisi lain. Ekor mata Pandu melihat kelebatan bayangan itu dan hatinya menjadi curiga. "Jangan-jangan dia orang yang membuat gadis pelacak ini terluka separah tadi"! Kejar, ah!"
Zlappp...! Pandu Puber mengejar bayangan yang berkelebat itu. Jurus
'Angin Jantan' dipergunakan untuk mengungguli kecepatan gerak orang yang dike-jarnya. Dalam beberapa waktu, Pandu sudah mencapai jalanan yang akan dilalui orang tersebut. Dengan sikap menghadang, berdiri tegak merenggang kokoh, Pandu Puber berhasil membuat bayangan yang berkelebat itu berhenti dan terkejut memandangnya. Orang yang dihadang Pandu adalah seorang lelaki berusia sekitar lima puluh tahun lebih, rambutnya panjang sepundak warna abu-abu, sama seperti kumisnya yang menempel di bawah hidung besar dari wajah berkesan bengis. Lelaki itu memakai pakaian surjan bergarisgaris. Bagian kan-cingnya tidak ditutupnya sehingga tampak dada dan perutnya yang berkulit hitam.
Orang berbadan agak kurus itu mengenakan celana hitam yang dilapisi kain batik warna putih dengan sabuk besarnya warna hitam pula. Di depan perutnya terselip sebilah keris bergagang kuning dari gad-ing. Orang yang memakai blangkon berias rantai emas itu menatap Pandu Puber penuh sikap permusuhan. Pandu Puber sendiri menampakkan sikap sedikit keras, karena dalam hatinya timbul keyakinan kuat bahwa orang itulah yang membuat Belati Binal babak belur nyaris jadi bubur itu. Pandu sengaja membiarkan orang itu menyapa lebih dulu. "Siapa kau, Anak Muda"!"
"Pandu Puber namaku!"
"Ooo... ya, ya," orang itu mengangguk-angguk dengan sikap sombong. "Rupanya kaulah yang bergelar Pendekar Romantis itu!"
"Benar! Apakah kau juga punya gelar yang sama, Pak Tua?" tanya Pandu dengan nada serius, tanpa cengar-cengir. KLIK DI SINI

Posting Komentar untuk "PENDEKAR ROMANTIS 06 KITAB PANCA LONGOK BAGIAN 5"