KEBENARAN TUHAN TIDAK MESTI MENJADI
KEBENARAN BERDASARKAN LOGIKA RASIONAL
![]() |
KEBENARAN TUHAN TIDAK MESTI MENJADI KEBENARAN BERDASARKAN LOGIKA RASIONAL |
Logika dianggap suatu kebenaran, mempelajari logika merupakan cara untuk
membedakan antara yang benar dengan salah, oleh karena logika dianggap suatu
kebenaran, di atas kebenaran maka banyak orang dipelajari orang. Penggunaan logika ini dimulai Ketika seorang filsup
Yunani bernama Thales mulai menggunakan akal budi sebagai pemecah masalah.
Secara singkat logika adalah masuk akal dan dapat dimengerti.
Mempelajari logika merupakan cara untuk membedakan antara yang benar dengan
yang salah, karena logika adalah sebuah kebenaran di atas kebenaran. Logika
dimulai ketika seorang filsuf Yunani bernama Thales mulai menggunakan akal budi
sebagai pemecah masalah.
Thales mengatakan bahwa air adalah prinsip atau asas pertama alam
semesta. Sejak saat itulah logika dikembangkan dan filsuf sesudah Thales mengembangkan
logika kendatipun istilah logika itu sendiri belum dikenal. Istilah logika
berasal dari Bahasa Yunani, logos yang berarti “hasil pertimbangan akal pikiran
yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan lewat bahasa”. Logika merupakan
cabang filsafat yang praktis dan objek logika adalah berpikir.
Secara etimologi, logika adalah ilmu tentang pikiran atau menalar.
Menurut Irving M. Copi, logika dapat didefinisikan sebagai hukum-hukum
pemikiran, namun pendapat ini dinilai kurang tepat. Logika juga disebut sebagai
ilmu penalaran, di mana penalaran dapat diartikan juga sebagai cara berpikir
terhadap suatu masalah.
Logika memiliki tujuan untuk mencari kebenaran di tengah-tengah
kekacauan. Logika dapat meningkatkan kemampuan berpikir secara abstrak, cermat,
serta objektif.
Seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi akan jauh lebih mudah dalam
mempelajari psikologis lawan bicara jika mempunyai penalaran yang bagus. Bagi
seorang HRD, logika diperlukan untuk mempertanyakan hal-hal terkait apa saja
yang akan dilakukan pelamar ketika bekerja. Selain itu, seorang hakim
memerlukan logika untuk membuat keputusan dalam menjatuhkan hukuman terhadap
terdakwa.
Berpikir logis diartikan sebagai proses manusia menggunakan penalaran
secara konsisten dan kritis untuk mendapatkan kesimpulan yang benar. Menurut
Arif Rohman dalam bukunya “Epistemologi dan Logika Pendidikan”, ada tiga unsur
penting dalam barometer berpikir logis.
1.
Pengertian (penangkapan dari suatu objek atau yang disebut konsep)
2.
Keputusan (suatu aksi seseorang dalam menyatakan untuk mengakui suatu
hal)
3. Penalaran (proses berpikir manusia dengan akal budi untuk mencapai kesimpulan).
Logika Tuhan dalam Islam
Proses Berpikir Manusia. Foto: https://www.shutterstock.com/© Disediakan
oleh Kumparan
Ilmu logika bukan suatu hal yang asing dalam Islam, bahkan Islam
melahirkan banyak filsuf salah satu nya adalah Ibnu Rusyd. Ibnu Rusyd terkenal
akan pemikirannya atas relasi antara ‘Syariah dan Filsafat’ serta wacana
tafsirnya mengenai ketuhanan dalam Al Quran.
Ibnu Rusyd mempelajari ayat-ayat Al Quran tentang bagaimana hukum
mempelajari logika dan filsafat. Dia menemukan bukti bahwa ada ayat yang
menyerukan penggunaan logika rasional sebagai representasi kreasi Tuhan.
Dari penemuan itulah Ibnu Rusyd menyimpulkan bahwa Syariah atau Islam
menganjurkan mempelajari filsafat untuk menemukan realitas kebenaran. Hal ini
sejalan dengan argumen filsuf lain yang berlandaskan pada realitas. Semakin
mendalam pemahaman filsafat maka semakin dalam dia mengenal Tuhan karena
realitas adalah representasi kreasi Tuhan.
Bagi Ibnu Rusyd Syariah dan Filsafat merupakan dua hal yang berdiri
sendiri namun menyatu dalam kebenaran. “Kebenaran tidak akan bertentangan
dengan kebenaran yang lain, melainkan saling mencocokinya, bahkan menjadi saksi
atasnya.” (Menafsir Kalam Tuhan, 2021).
Menurut Ibnu Rusyd, Syariah dan Filsafat terkadang berjalan seiringan
tetapi terkadang juga berbeda. Kesamaan dari keduanya adalah memiliki tujuan
untuk menemukan Tuhan. Perbedaan dari keduanya adalah Syariah ditujukan untuk
semua tingkatan masyarakat, sedangkan filsafat ditujukan untuk sebagian kecil
masyarakat (dalam hal ini mayoritas para cendekiawan).
Pemaparan di atas merupakan contoh bahwa Islam tidak memandang sebelah
mata ilmu filsafat. Ilmu filsafat ini seperti pedang bermata dua, di mana jika
kita salah penalaran maka dapat menimbulkan keraguan dalam keimanan.
Karena filsafat merupakan ilmu yang berdasarkan pada logis dan bersifat real, sementara keberadaan Tuhan? Tidak logis dan tidak real. Setidaknya begitulah pernyataan dari orang-orang penganut atheis. Filsafat merupakan induk dari seluruh pengetahuan yang di mana filsafat berasal dari proses berpikir manusia. Foto: https://www.istockphoto.com/id© Disediakan oleh Kumparan
“Orang yang percaya akan adanya Tuhan hanyalah orang-orang lemah dan bodoh”. Menurut saya, pernyataan tidaklah 100% akurat dikarenakan konsep ketuhanan itu bersifat universal. Karena bersifat universal dan merangkul banyak pihak inilah timbul persepsi bahwa ‘agama hanya untuk orang bodoh dan orang atheis adalah orang yang pintar’. Padahal mereka lupa bahwa banyak orang-orang pintar dan jenius yang percaya akan konsep ketuhanan. Contoh saja Albert Einstein yang percaya akan konsep ketuhanan sebagai Maha Pencipta, Yang Memulai Segalanya. Mereka terlalu berfokus pada orang-orang terbelakang yang mempercayai Tuhan. Ya, memang saya akui banyak negara miskin masuk dalam kategori negara paling religious. Tapi, ini tidak bisa dijadikan argumen, kenapa? Karena ada negara UEA, Arab Saudi, Qatar yang merupakan negara muslim tetapi menjadi negara terkaya.
Satu pernyataan yang menarik dari diskusi kemarin “Tuhan hanyalah sebuah imajinasi turun temurun dan kitab suci hanyalah mitos.” Sekarang saya balik pernyataannya, Aristoteles hanyalah dongeng pengantar tidur yang dibuat oleh seseorang. Tidak ada bukti bahwa Aristoteles benar benar hidup, yang ada hanyalah karya-karya pemikirannya yang dipercayai oleh filsuf filsuf. Begitu juga dengan kitab suci, di agama saya Al Quran bukan hanya sekedar fiktif belaka tapi juga sebuah keteraturan hidup dan ada 800-1000 ayat tentang sains didalamnya.
Untuk menunjukkan konsep keberadaan Tuhan saya jadi teringat dengan salah satu film sci-fi terbaik sepanjang sejarah, yakni Interstellar yang ditulis oleh Profesor Kip Thorn. Di dalam film tersebut ada yang namanya konsep dimensi. Garis adalah satu dimensi karena hanya memiliki panjang saja, bujur sangkar adalah adalah dua dimensi karena memiliki panjang dan lebar, sementara kubus adalah tiga dimensi karena memiliki panjang, lebar dan tinggi.
BACAAN LAINNYA:
- Surat dari Umar Bin Khotob khulafaur Rasyidin untuk Sungai Nil
- 10 Macam Masiat Batin dalam Kehidupan Sehari Hari
- Kisah Nabi Samun yang Mampu Beribadah 1000 Bulan
Lalu apa hubungannya? Manusia merupakan makhluk tiga dimensi, dan
penglihatan manusia terbatas hanya sampai di dimensi ketiga saja. Manusia tidak
akan pernah bisa melihat dimensi keempat, yang bisa dilihat hanyalah proyeksi
nya saja atau dalam sains disebut Tesseract.
Profesor Carl Sagan menjelaskan tentang dimensi ini, jika seandainya
kita adalah makhluk dua dimensi kita hanya akan bisa maju, mundur, kekiri, dan
kekanan, kita tidak akan pernah bisa melihat keatas dan kebawah. Jika ingin
melihat benda tiga dimensi, kita hanya akan bisa melihat bayangan dari tiga
dimensi tersebut.
Nah Tuhan tidak akan mungkin sama dengan manusia, Tuhan itu lebih dari manusia. Itulah penyebabnya kenapa Tuhan tidak bisa kita lihat secara nyata karena kemampuan penglihatan manusia ini terbatas, melihat dimensi keempat saja kita tidak bisa apalagi melihat Tuhan? Yang bisa rasakan hanyalah keberadaannya, seperti proyeksi tiga dimensi terhadap makhluk dua dimensi tadi. Klik di sini
Posting Komentar untuk "KEBENARAN TUHAN TIDAK MESTI MENJADI KEBENARAN BERDASARKAN LOGIKA RASIONAL"